Mohon tunggu...
Ikang Maulana
Ikang Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa FISIP Undip Semarang yang tengah berusaha membangun budaya literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Nasional dan "Quo Vadis" Pendidikan di Indonesia

7 Juli 2018   23:34 Diperbarui: 8 Juli 2018   00:52 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada tanggal 2 Mei 2018 kemarin kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional dimana pada saat itu bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara memperjuangkan nasib rakyat pribumi agar mendapatkan pendidikan yang layak. Seharusnya Hari Pendidikan Nasional pada saat ini harus direfleksikan dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Tetapi apabila ditilik apakah kita masih memperjuangkan pendidikan nasional untuk kemajuan bangsa ?

Meskipun anggaran pendidikan naik dari 370,4 T pada tahun 2016, 419,8 T pada tahun 2017 menjadi 444,1 T pada 2018 dengan kenaikan sebesar 13,3 %  pada 2017 dan 5,8 % pada 2018. Tetapi hal tersebut bukan merupakan indikator utama kualitas pendidikan kita bisa diukur baik atau tidak baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Faktanya berdasarkan artikel Pikiran Rakyat pada tanggal 04 Juni 2017 yang mengutip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa sebanyak tidak kurang dari 4,1 juta anak berusia 6-21 tahun tidak sekolah. Dari fakta dapat diasumsikan bahwa kenaikan anggaran tidak berkorelasi dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas pendidikan terutama jumlah anak yang putus sekolah.

Padahal pendidikan menurut Darmaningtyas mengutip dari Imam Barnadib adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Sementara mengutip dari UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari pengertian yang telah dijabarkan dapat disimpulkan pendidikan merupakan entitas yang penting untuk mengembangkan kepribadian serta keterampilan anak agar mencapai taraf hidup yang lebih baik. Tetapi, dengan angka putus sekolah yang masih tinggi semua pihak terutama pemerintah perlu merefleksikan kembali ada apa sebenarnya dengan dunia pendidikan di Indonesia apakah dengan angka putus sekolah yang masih tinggi tersebut sebenarnya pendidikan masih merupakan barang mahal dan hanya mampu dijangkau oleh segelintir kalangan.

Dengan keadaan yang seperti itu analisis dari Mansour Fakih dalam bukunya Bebas Dari Neoliberalisme benar, menurutnya hal tersebut dikarenakan pendidikan telah dijadikan komoditas, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang berwatak neoloberal ini akan membuat pendidikan menjadi komoditas yang harus diperdagangkan dalam hukum pasar bebas.

Akibatnya, hanya mereka yang punya uang bisa mengakses pendidikan dan mereka yang tidak punya uang hanya bisa gigit jari. Pemotongan subsidi terhadap pendidikan dengan dalih demi pasar bebas, membuat pendidikan semakin mahal dan berakibat bagi anak-anak dari golongan miskin terlanggar hak-hak asasinya.

Budaya Pragmatis Dalam Pendidikan 

Selain masalah di atas, budaya pragmatis masih menghinggap sangat kuat di masyarkat. Artinya, orang tua menyekolahkan anaknya karena memiliki orientasi untuk cepat mendapatkan pekerjaan yang memadai sesuai apa yang telah diinvestasikan di sekolah. Yang menjadi pertanyaan mengapa opini publik sangat kuat akan hal seperti itu ?

Apabila institusi pendidikan dibentuk seperti itu maka sangat besar kemungkinan dunia pendidikan akan didikte oleh kepentingan pasar. Menurut Agus Nuryatno dalam bukunya Mazhab Pendidikan Kritis ideologi pasar jelas berbeda dengan ideologi pendidikan. Ideologi Pendidikan lebih mementingkan nilai etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan menekankan kompetisi dibanding koperasi. Ketika ideologi pasar mendominasi dunia pendidikan maka pendidikan kita akan mengedepankan nilai-nilai korporasi yang menekankan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja.

Dapat dilihat banyak orang tua memiliki persepsi bahwa sekolah adalah investasi masa depan. Yang dimaksud investasi disini lebih banyak dipahami dalam kerangka ekonomi dibanding non-ekonomi. Ketika sekolah dipersepsi sebagai investasi ekonomi, maka tujuan utama sekolah adalah mencari kerja.

Persepsi di atas punya implikasi luas. Masyarakat akan cenderung menyekolahkan anaknya ke fakultas-fakultas yang sekiranya bisa menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih banyak. Akibatnya fakultas yang akan laku adalah fakultas yang berorientasi pasar dan mudah mencari kerja, seperti ekonomi, teknik, kedokteran, dll. Sementara fakultas-fakultas yang non pasar seperti filsafat, ilmu budaya dan ilmu sosial dan politik tidak akan laku.

Budaya pragmatis juga berimplikasi pada proses pedagogis. Menurut Habermas (dalam Nuryatno, 2011:82) ada tiga kategori pengetahuan : teknis, praktis dan emansipatoris. Jika budaya pragmatis yang mendominasi pengetahuan, maka pengetahuan teknis-praktislah yang akan didesiminasikan dalam proses pembelajaran.

Implikasi model seperti ini dalam pendidikan bahwa pengetahuan harus beroperasi di dalam kerangka lawlike mode of thought dan pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya. Yang ditekankan dalam pembelajaran adalah memiliki dan mengakumulasi ilmu pengetahuan.

Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik dengan mencari kerja. Asumsi sekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat pengaruh budaya pragmatisme. Mencari kerja bukanlah inti orang belajar dan sekolah. Mencari kerja adalah bagian, bukan tujuan utama orang bersekolah.

Belajar dan bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana realitas eksistensial dikkonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subyek di tengah-tengah perubahan sosial. Inilah inti pendidikan.

Maka dari itu, pemerintah selaku regulator sudah sepantasnya menyediakan pendidikan yang layak serta terjangkau bagi semua kalangan karena pendidikan merupakan hak dasar, apabila pemerintah melupakan hak dasar tersebut maka pemerintah melupakan hak asasi manusia. Lalu dengan menempatkan pendidikan pada hakikatnya yaitu academic value diharapkan nilai-nilai pragmatisme dalam masyarakat sedikit demi sedikit akan terkikis dan masyarakat mulai menyadari bahwa pendidikan tidak hanya sebatas bernilai ekonomi saja tetapi merupakan proses kritis mengubah masyarakat.

Sumber Referensi

Darmaningtyas.2015.Pendidikan Yang Memiskinkan. Malang : Intrans Publishing

Fakih, Mansour.2010.Bebas Dari Neoliberalisme. Yogyakarta : INSISTPress

Nuryatno, Agus.2011.Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta : Resist Book

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun