Mohon tunggu...
Cita Utami
Cita Utami Mohon Tunggu... -

saya menulis untuk melihat seberapa jauh proses belajar saya, untuk membandingkan seberapa jauh saya telah berkembang dalam hidup ini.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Semakin Banyak Tuhan di Jl. Kaliurang

14 Juni 2010   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tersentil dengan status ini -> "Jogjakarta memang ajaib! Hoka Hoka Bento bertransformasi dari rumah makan, menjadi berhala." (Fikri, 2010).

Kehadiran rumah makan jenis fastfood masakan Jepang di Jogja ini memang membawa segudang cerita. Seakan semua manusia di Jogja sungguh sangat antusias menyambutnya. Bahkan sejak H-1 dia akan buka, sudah banyak orang yang datang ke sana, sekedar memastikan apakah rumah makan itu benar-benar akan buka keesokan harinya. Ini saya saksikan dengan mata kepala sendiri ketika sedang membeli sate ayam di seberang jalan si rumah makan segera menjelma jadi berhala itu.

Ketika hari yang dinantikan itu tiba, timeline Twitter dipenuhi dengan berita antrian di rumah makan yang menggila, Jl. Kaliurang yang macet gila, hingga kekesalan banyak orang akibat voucher makan gratis yang rupanya menjadi mitos di hari tersebut. Saya sendiri lebih peduli tentang si mama yang sedang khawatir apakah kehadiran rumah makan baru itu akan mempengaruhi penjualan di warungnya.

Beberapa hari kemudian pembicaraan tentang si rumah makan baru itu masih menjadi favorit. baik antara saya sendiri dengan suami, antara saya dengan mama, antara mama dengan para pegawainya, hingga antara mama dengan si bapak supplier ayam. Subyeknya sama, hanya sub-tema yang berbeda.

Cerita yang menarik dan ingin saya bagi adalah cerita tentang si subyek dari para pegawai saya.

Cerita pertama. Adalah tentang pembagian kuasa para manusia berseragam oranye. Kampung saya yang berhasil mendapatkan kuasa sebagai juru parkir di rumah makan baru tersebut. Dan karuan saja banyak orang berebut turun tangan untuk menjadi juru parkir di sana. Hingga tidak terkecuali bapak ketua RW saya sendiri yang memilih keluar dari profesinya selama ini (yang saya sendiri tidak tahu apa) untuk bisa mendedikasikan waktu lebih menjadi juru parkir di rumah makan baru tersebut.

Cerita kedua. Adalah tentang euforia tetangga-tetangga kampung saya untuk mencoba menyantap makanan di sana. Yang perlu diketahui tentang demografi di daerah tempat tinggal saya adalah keberagaman para penduduknya. Jadi jangan kira rumah di Jl. Kaliurang kilometer awal adalah jaminan bahwa penduduknya makmur semua. Di daerah tempat saya tinggal yang makmur justru adalah para pendatang yang kemudian menjadi juragan kos-kosan. Tapi mereka sendiri tidak pernah tinggal di situ. Para penduduk aslinya justru memiliki ekonomi yang pas-pasan hingga mengarah pada kekurangan. Kebanyakan profesinya adalah pembantu rumah tangga, atau buruh bangunan, juru parkir, pelayan restoran, dan tenaga jasa menengah lainnya. Secara kasar saya sebut adalah orang-orang yang sekiranya tidak akan memilih si rumah makan baru sebagai pilihan tempat makan yang akan didatanginya.

Tapi kehadirannya sungguh menyilaukan, membuat tetangga-tetangga saya rela menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk kemudian merencanakan satu hari dalam hidup mereka untuk mencicipi masakan yang terhidang di rumah makan baru tersebut. Harus diakui anak-anak mereka adalah pendorong utama, merengek-rengek terus kepada mereka untuk makan di rumah makan baru, tergoda oleh goyangan kepala dua figur berkepala besar di pintu masuknya.

Ketika hari yang direncanakan tiba, datanglah mereka. Berombongan besar. Memesan menu yang paling murah. Tidak menyangka bisa menghabiskan uang 60rb untuk bertiga dengan begitu saja. Kecewa karena ternyata makanan yang mereka santap hanya gorengan rolade saja. Dan kemudian menyebarkan cerita itu kepada tetangga-tetangga lainnya. Kapok hanya sekali saja mereka akan makan di sana.

Hingga kini rumah makan itu masih antri saja. Parkirannya tidak pernah sepi dari kendaraan beroda empat. Sering sekali melihat dua kepala goyang itu menjadi obyek foto manusia-manusia pengunjungnya, yang herannya selalu berdandan maksimal seakan mereka berada di pusat perbelanjaan.

Sungguh mengagumkan.

Bahkan toko lingkaran K mulai memudar pamornya sejak ada si kepala goyang-goyang.

Inilah Tuhan baru di Jl. Kaliurang.

Yang sepertinya akan menjadi pemicu munculnya Tuhan-Tuhan baru lainnya *teringat gedung-gedung baru yang sedang dalam proses pembangunan di sepanjang Jl. Kaliurang*

huf....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun