Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Into The Wild, Film yang Membuat Saya Berpikir Ulang untuk Menjadi Soliter

1 April 2024   15:41 Diperbarui: 1 April 2024   15:43 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emile Hirsch memerankan tokoh Christopher McCandless. Sumber gambar: Phinemo dot com

Boleh merasa sendiri. Tapi tidak untuk hidup sendirian.

Ya iyalah, dari SD kan sudah diajari, bahwa manusia itu makhluk sosial. Mungkin begitu kali ya komentarnya.

Tapi pernah nggak sih merasa ingin sendiri, bahkan di titik ekstrim, ingin hidup sendiri.

Nah, saya pernah. Saat itu saya merasa entah kenapa tidak ada orang di dunia ini yang klop dengan isi kepala saya.

Saat melihat sekeliling, mengapa bersama manusia membuat saya harus ikut aturan kalau hidup itu perlu validitas.

Ini lho saya! Saya punya ini lho!

Hingga saya menemukan sebuah film yang awalnya saya pikir, wah, ini saya banget!

Tak Selamanya Hidup Mapan Itu Membahagiakan

Film Into The Wild yang ditulis serta disutradarai Sean Penn ini pertama kali ditayangkan pada tahun 2007. 

Awalnya banyak yang tahu kalau film yang dibintangi oleh Emile Hirsch ini berangkat dari sebuah cerita dari buku karya Jon Krakauer.

Emile Hirsch memerankan tokoh Christopher McCandless. Sumber gambar: Phinemo dot com
Emile Hirsch memerankan tokoh Christopher McCandless. Sumber gambar: Phinemo dot com
Namun faktanya, film yang mengangkat kisah Christopher McCandless ini sebetulnya bermula dari sebuah kisah nyata.

Tokoh Christopher McCandless atau yang dalam film kemudian mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp ini awalnya memiliki kehidupan yang bisa dibilang jadi impian banyak orang.

Bagaimana tidak, ia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya bekerja di NASA. Ibunya seorang konsultan. Keluarga mereka pun hidup berkecukupan.

Sementara itu McCandless adalah lulusan hukum terbaik dari Emory College. Ia pun langsung dapat tawaran untuk lanjut kuliah di Harvard.

Saat lulus, ia dapat hadiah mobil baru dari orangtuanya. Lho coba, kurang uenak apa hidup kayak McCandless kan?

Tapi nyatanya, ia justru pergi dari semua kehidupan yang serba wah tersebut. Uang sisa kuliah yang mau dipakai untuk lanjut kuliah, dia sumbangkan.

Mobil barunya ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Uang sisa yang dia pegang, seingat saya dibuang apa dibakar gitu.

Tapi rupanya ada alasan mengapa McCandless sampai segila itu.

Pelajaran Bagi Orangtua untuk Mengajari Anak Makna Bahagia yang Sesungguhnya

Terkadang ada motivasi bagi para orangtua untuk ingin hidup mapan. Semoga anak saya nggak merasakan hidup nggak enak kayak saya dulu. Semoga anak saya punya masa depan yang makin lebih baik dari saya. Serta motivasi lainnya.

Namun hati-hati, tak selamanya yang diharapkan baik dari orangtua, bisa jadi malah menjadi bencana bagi anak-anak.

Nah, hal inilah yang justru jadi salah satu yang saya ambil hikmahnya saat melihat film Into The Wild.

Ayahnya McCandless mungkin ingin anaknya punya hidup on the track. Kuliah sukses. Masa depan sukses. Hidup mapan. Dipandang wah oleh banyak orang.

McCandless bersama kedua orangtuanya. Sumber gambar: Phinemo dot com
McCandless bersama kedua orangtuanya. Sumber gambar: Phinemo dot com

Namun di sisi lain, banyak hal yang tak ia pertimbangkan pada diri anaknya. Ia sering menunjukkan kekerasan pada istrinya di depan anak-anaknya. Ia jadikan anaknya sebagai kebanggaan di depan banyak orang. Ia terus memberi materi dan materi dengan jaminan itulah sumber dari kebahagiaan.

Faktanya, anaknya ternyata punya pandangan hidup 180 derajat berkebalikan dari orangtuanya.

Lihat McCandless kayak lihat saya yang kebanyakan baca buku filsafat waktu kuliah! Hahaha...

Memang di usia awal 20-an, terkadang bisa gitu ya manusia ada di titik tinggi tentang idealisme. Makanya sampai-sampai sering ada yang zaman mahasiswanya jago demonstrasi, tapi pas sudah dihadapkan realita kehidupan, di usia mendekati 30-an, barulah mikir, uang itu perlu ya!

Kembali ke McCandless, jadi dia itu ada di titik muak sama apa yang menjadi standar hidup masyarakat umum. Hidup kaya dan berprestasi itu sama dengan bahagia. 

Ya itu tadi, karena McCandless menurut saya terlalu menghayati apa yang tertulis dalam buku Leo Tolstoy, Jack London, atau Henry David Thoreau.

Nekat hidup nggak pegang materi. Ngeyel mau jadi petualang ke Alaska. Sudah diingatkan oleh orang-orang yang ditemuinya selama perjalanan, nggak digubris.

Dari film ini saya akhirnya mikir, mendampingi anak mulai dari pendidikan dasar itu ternyata perlu banget. Mulai dari dasar keyakinan agama sampai nilai kehidupan. 

Jangan sampai anak ada di titik membentuk idealismenya sendiri berdasarkan informasi dari pihak lain. Sementara, ia tidak didampingi untuk menerjemahkan makna informasi tersebut.

Renungan Panjang, Apakah Saya Berani Punya Nasib Seperti Christopher McCandless

Nah, inilah titik paling wah bagi saya dari sepanjang menyaksikan Film Into The Wild. 

Iya sih, awalnya McCandless bahagia banget saat akhirnya berada di titik kehidupan yang ia impikan. Sendirian, sehari-hari berkutat dengan perenungannya. 

Tokoh asli Christopher McCandless. Sumber gambar: Newyorker dot com
Tokoh asli Christopher McCandless. Sumber gambar: Newyorker dot com

Ia juga bebas dari tuntutan standar nilai di masyarakat yang kebanyakan memandang materi sebagai sesuatu yang patut diperjuangkan dan dibanggakan.

Tapi, kalau akhirnya hidup mengenaskan, kok ya saya nggak mau ya. Juga saat McCandless akhirnya sadar, walau bagaimanapun orangtua yang ia anggap gila harta itu, toh ya itu tetap keluarganya, orang-orang yang mencintainya meski ya caranya dengan melimpahi harta itu tadi.

Jadi pikir saya, oke, saya bisa merasa sendiri dengan idealisme, bisa menyendiri dari gegap gempita kehidupan dunia. 

Tapi, tidak perlu lah selamanya. Apalagi sampai pamit seperti di lagunya Eddie Vedder yang paling saya suka dari backsound film ini.

"Society, crazy indeed. I hope you're not lonely without me."

Boleh kita tidak setuju dengan apa yang menjadi standar umum masyarakat. Tapi tidak kemudian membuat kita menjadi soliter dan hidup jauh dari peradaban. Apalagi sampai telat menyadari sesuatu yang berharga namun sudah kita tinggalkan.

Ya kalau niatnya mau menyendiri, lebih baik ya i'tikaf saja ya. Kan mumpung 10 hari terakhir di bulan Ramadan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun