Nah, hal inilah yang justru jadi salah satu yang saya ambil hikmahnya saat melihat film Into The Wild.
Ayahnya McCandless mungkin ingin anaknya punya hidup on the track. Kuliah sukses. Masa depan sukses. Hidup mapan. Dipandang wah oleh banyak orang.
Namun di sisi lain, banyak hal yang tak ia pertimbangkan pada diri anaknya. Ia sering menunjukkan kekerasan pada istrinya di depan anak-anaknya. Ia jadikan anaknya sebagai kebanggaan di depan banyak orang. Ia terus memberi materi dan materi dengan jaminan itulah sumber dari kebahagiaan.
Faktanya, anaknya ternyata punya pandangan hidup 180 derajat berkebalikan dari orangtuanya.
Lihat McCandless kayak lihat saya yang kebanyakan baca buku filsafat waktu kuliah! Hahaha...
Memang di usia awal 20-an, terkadang bisa gitu ya manusia ada di titik tinggi tentang idealisme. Makanya sampai-sampai sering ada yang zaman mahasiswanya jago demonstrasi, tapi pas sudah dihadapkan realita kehidupan, di usia mendekati 30-an, barulah mikir, uang itu perlu ya!
Kembali ke McCandless, jadi dia itu ada di titik muak sama apa yang menjadi standar hidup masyarakat umum. Hidup kaya dan berprestasi itu sama dengan bahagia.Â
Ya itu tadi, karena McCandless menurut saya terlalu menghayati apa yang tertulis dalam buku Leo Tolstoy, Jack London, atau Henry David Thoreau.
Nekat hidup nggak pegang materi. Ngeyel mau jadi petualang ke Alaska. Sudah diingatkan oleh orang-orang yang ditemuinya selama perjalanan, nggak digubris.
Dari film ini saya akhirnya mikir, mendampingi anak mulai dari pendidikan dasar itu ternyata perlu banget. Mulai dari dasar keyakinan agama sampai nilai kehidupan.Â