Sebagai orang yang pernah merantau ke daerah yang memiliki banyak wilayah air, saya pun jadi harus kerap ke mana-mana menggunakan alat transportasi air.
Misalnya saat tinggal di Kepulauan Riau atau yang kerap disingkat dengan Kepri. Namanya saja kepulauan, daerah Kepri terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan dan selat.
Di sana, masyarakat terbiasa naik perahu tradisional atau yang disebut pompong untuk menjangkau antarpulau terdekat. Sedangkan jika antarpulau yang cukup jauh, pilihannya adalah kapal feri.
Sedangkan saat tinggal di Kalimantan Selatan atau Kalsel, masyarakat di sana terbiasa menggunakan klotok untuk alat transportasi. Klotok adalah sebutan masyarakat di sana untuk sampan atau perahu tradisional. Mereka menempuh perjalanan air lewat sungai untuk menuju satu tempat sebagai alternatif jalan darat.
Selama tinggal di dua tempat tersebut, saya pun kerap mengalami pengalaman atau melihat pemandangan tentang moda transportasi air yang jarang sekali saya dapatkan saat tinggal di Jawa.
Misalnya suatu ketika saat liputan di sekitaran Batam dan sedang naik pompong, saya pernah melihat seorang bapak-bapak yang mendayung sampannya. Di sampan tersebut, saya lihat sebuah kulkas besar berada di atas sampan.
Sedangkan untuk pengalaman seru yang pernah saya rasakan adalah seperti beberapa cerita berikut ini.
1. Pompong mogok di tengah jalan
Pengalaman ini saya alami saat harus meliput acara lomba kompang di bulan Ramadan di Pulau Penyengat. Saat itu usai tarawih, saya berangkat sendirian meliput di sana karena kedua teman cowok saya tak ada satu pun yang mau diajak liputan malam-malam.
Di pelantar Tanjung Pinang tempat naik pompong ke Pulau Penyengat, kebetulan saya berbarengan dengan sebuah kelompok peserta kompang yang juga akan menuju Penyengat. Saya pun merasa lega. Karena awalnya, saya pikir kondisinya akan sepi saat saya menyeberang ke pulau tersebut.
Kelompok peserta lomba kompang ini cukup menghibur selama perjalanan. Mereka tak henti-hentinya berlatih menabuh kompang untuk persiapan lomba. Suaranya beradu gemuruh dengan suara mesin diesel yang menjadi sumber tenaga pompong untuk melaju.
Hingga suatu ketika, suara mesin diesel berhenti. Dalam hitungan detik, tabuhan kompang pun ikut berhenti.Â
Saya yang asyik melamun jadi bertanya-tanya, apa masalah yang sedang terjadi pada pompong yang kami naiki. Dari yang saya dengar, rupanya rantai pompongnya putus!
Wajah saya sontak langsung merasa horor. Kondisi malam, pompong berhenti di tengah-tengah perairan antara Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat, sungguh bukan hal yang seru!
Pasalnya, beberapa kali terjadi tabrakan antara kapal feri dari Singapura yang menabrak pompong di sekitaran perairan tersebut. Parahnya, saya tidak bisa berenang!
Jangan tanya kenapa di pompong tersebut tidak ada pelampung, karena sungguh itu bukan hal yang biasa ada di sana.
Akhirnya mau tak mau, beberapa orang menggunakan cara dayung biasa untuk bisa menepi di Penyengat. Singkat cerita, kami sepompong itu selamat sampai di tempat. Kelompok peserta yang sepompong dengan saya akhirnya menjadi peserta terakhir lomba. Dan, menang!
Pulangnya, saya jadi dapat berita seru. Tentang cerita di balik kemenangan peserta lomba yang pompongnya sempat putus rantai di tengah jalan.
Cerita moral dari pengalaman saya ini, banyak-banyaklah saja berdoa sebelum berangkat dan selama perjalanan. Hanya itu, dan saya pun tidak bisa menyarankan apa-apa. Karena kita tidak bisa menebak rencana apapun yang dimiliki Tuhan.Â
2. Tidak bisa memperkirakan kondisi perjalanan
Masih di pengalaman saya saat meliput antarpulau selama di Kepri. Suatu ketika, saya ada janji melakukan pemotretan dengan model yang ada di Pulau Tanjung Balai Karimun. Waktu sudah ditentukan.
Tapi nyatanya saat waktunya tiba, saya terjebak di Pelabuhan Sekupang. Hujan cukup deras. Jika kondisinya demikian, kapal feri manapun tak akan ada yang mau berangkat.
Saat saya menelepon teman yang ada di Karimun, mereka bilang, cuaca di sana malah cerah terang benderang.Â
Saya cuma bisa pasrah. Karena memang demikian kondisi di daerah kepulauan. Ada kalanya, cuaca bisa tidak sama antara beberapa pulau besar seperti Pulau Batam, Bintan, Karimun, atau Lingga. Apalagi jika urusannya dengan Natuna.
Cukup lama saya tertahan di Pelabuhan Sekupang tanpa bisa apa-apa sambil menunggu hujan reda. Dan saat akhirnya tinggal gerimis yang tersisa, kapal feri pertama menuju Karimun akhirnya memberanikan untuk berangkat.Â
Itu pun saya rasakan ombak yang begitu kencang selama perjalanan. Meski saya sudah naik feri tidak di lantai paling bawah, tapi goncangannya sangat terasa.
Benar seperti yang teman saya bilang. Sampai di Karimun, cuacanya memang sangat cerah dan terang benderang. Sungguh jauh berbeda dengan yang saya alami saat satu jam sebelumnya ketika berada di Batam.
Dan memang seperti itulah jika naik kendaraan umum seperti kapal atau pesawat. Kita tidak bisa mengestimasi waktu atau momen perjalanan. Karena semuanya tergantung dengan kondisi cuaca atau alam.
3. Saat harus naik feri di waktu ombak besar
Tahun 2009, pernah terjadi tragedi tenggelamnya Kapal Dumai Express 10 akibat dihantam gelombang tinggi. Saya yang waktu itu sudah kembali ke Lamongan, cukup terkejut dengan kejadian tersebut. Pasalnya, masalah ombak tinggi memang terkadang terjadi.
Jika kebetulan ombak sedang kencang, dari pengalaman saya, lebih baik jangan pernah memilih naik feri di bagian bawah. Karena hantaman ombaknya sangat kencang.Â
Kalau mau tahu rasanya, persis kayak naik motor trail di jalan yang hancur parah dengan kecepatan tinggi! Tubuh kita bisa duduk tapi terbanting atau lompat berkali-kali. Bagi yang suka mabuk perjalanan, sangat tidak disarankan untuk ambil posisi naik feri di bawah saat cuaca buruk.Â
Bahkan saran saya, lebih baik tidak usah naik feri. Karena meski sudah naik yang di lantai atas, goncangan akibat ombak ini tetap terasa.
Selain itu, jangan sepelekan keberadaan rompi pelampung yang terlihat terlipat rapi dalam jumah cukup banyak di dalam feri. Seumur-umur naik feri berkali-kali, saya tidak peduli sama sekali dengan pelampung tersebut. Tapi begitu tahu kabar kecelakan feri di 2009, saya baru sadar arti pentingnya.
4. Hujan-hujan naik klotok
Berganti ke cerita saat tinggal di Kalsel. Durasi terlama naik perahu alias klotok yang pernah saya alami adalah saat mengikuti wisata susur sungai dengan teman-teman Banjarmasin Traveller.
Waktu itu saat berangkat, saya lihat cuaca sudah cukup mendung. Bahkan gumpalan awannya cukup tebal dan gelap. Sempat saya berpikir barangkali perjalanannya tidak jadi. Namun ternyata saya keliru dan tidak tahu kalau teman-teman Banjarmasin Traveller ini cukup tangguh dan tidak kenal cuaca buruk.
Dan benar saja, saat di tengah-tengah perjalanan, beberapa kali hujan turun. Untungnya di tas ransel saya tersimpan jas hujan tipis yang sengaja saya bawa dan tidak saya tinggal di sepeda motor.Â
Jas hujan tersebut sangat bermanfaat melindungi saya dari hujan. Juga, dari angin dingin selama perjalanan. Saya yang gampang masuk angin pun jadi merasa hangat dan nyaman.
Jadi jika memang akan mengalami perjalanan seperti saya ini, menggunakan sampan tradisional di waktu yang kelihatannya kurang bersahabat, bawalah jas hujan. Barang ini akan cukup melindungi kita dari udara dingin serta air hujan selama perjalanan.
Dari semua pengalaman tadi, satu lagi saran saya jika akan naik moda transportasi air. Bawalah kantong kresek. Kantong ini akan bermanfaat untuk berjaga-jaga melindungi beberapa barang kita yang sangat sensitif terhadap air.
Sedangkan bagi yang mudah mabuk perjalanan dan tidak terbiasa naik alat transportasi air, usahakan isi perut dengan cukup dan minum obat antimabuk sebelum perjalanan naik kapal atau perahu tradisional. Apalagi untuk perjalanan yang cukup lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H