Padahal, posisi media kami waktu itu belum terbit. Jadi bisa dibilang, saya dan teman saat itu masih berstatus reporter tanpa surat kabar.
Namun sesampainya di taksi dalam perjalanan menuju kantor, entah kenapa, tiba-tiba saya dan Zuhri sepakat untuk langsung menyelutuk, "Amplop ini isinya apa ya?"
Karena tidak berani membuka takut telah lancang membaca undangan yang seharusnya kami sampaikan dulu ke atasan, kami lalu memutuskan untuk menerawang kedua amplop yang kami terima.
Tadaaa... tampaklah selembar kertas berwarna biru yang langsung kami yakini sebagai selembar uang!
Dasar masih polos dan belum punya pengalaman sama sekali, kami berdua langsung gemetaran. Asli panik!
Lha orang sejak awal sudah diwanti-wanti sejak awal pelatihan reporter kalau kita tidak boleh menerima amplop, eh, kita berdua kok malah menerimanya.
Begitu pula sesampainya di kantor, bukannya malah menjelaskan, kami berdua malah sibuk minta maaf yang tentu saja membuat redaktur kami jadi kebingungan.
Untungnya setelah kami diminta menjelaskan dengan tenang, redaktur lantas tidak memarahi dan langsung membuatkan surat pengantar untuk mengembalikan amplop tersebut.
Zuhri waktu itu yang bertugas untuk kembali ke narasumber dan mengembalikan kedua amplop kami.
Lain lagi ceritanya ketika saya bertugas di Tanjungpinang.Â