Aku langsung duduk, menatap tahi lalat kaki itu. Mencermatinya, dan menemukan satu tanda lagi di bagian atasnya. Di atas mata kaki, kembali kutemukan satu. Di dekat bulatan tulang kaki bagian dalam, menggenapi satu titik lagi. Satu kaki kiri, dengan lima tahi lalat kaki.
Ganti kuperiksa kaki kananku. Di dekat mata kaki, kutemukan tiga tanda titik hitam yang tersebar dalam ruang berdekatan. Nafas lega terhembus saat kutahu bagian dalam kaki kananku tak menambah jumlah keseluruhan tahi lalat di kedua kakiku.
Diam dan tergumam sendiri, aku mencoba mencari korelasi cerita ke belakang hari dari delapan tanda titik hitam itu. Mengingat awal muasal temuan cerita mitos tentang tahi lalat kaki yang pernah kudengar dari ibu, lalu berencana menemukan kebenaran dari mitos itu.
Melalui dunia maya, esok harinya kubuka laman kitab ramal versi Jawa atau yang bernama primbon. Sebetulnya tidaklah sekali itu aku membuka laman tersebut. Karena sebelum-sebelumnya, beberapa tanda tanya juga kerap kucari tahu melalui laman yang tampil dengan warna gelap hitamnya. Mulai dari keinginan memenuhi hasrat untuk mengetahui watak seseorang berdasarkan pasaran hari lahir dalam budaya Jawa atau yang disebut weton, sampai kecocokan seseorang dengan yang lain bila dilihat dari wetonnya masing-masing.
Rasanya pemilik laman itu cukup tahu, jika banyak orang seperti diriku yang telah bergulat dalam dunia moderen, namun masih menyisakan ruang kepercayaan budaya Jawa pada dirinya. Karena membawa primbon ke mana-mana, rasanya akan menjadi hal yang sulit. Meski tak bisa mungkir, tapi siapapun yang masih percaya primbon di pergaulan zaman serba teknologi canggih, akan malu untuk mengaku jujur.
Dari laman itu, dugaanku tentang tanda titik hitam pada kaki hanya sedikit dibenarkan. Seseorang yang punya tahi lalat di kaki akan tak mudah lelah saat berjalan. Itu saja keterangannya!
Tak hanya lewat primbon dunia maya, aku jadi punya hobi memandang selidik dari banyak kaki miliki teman-temanku sendiri. Ada yang kutemukan satu, dan kusadari temanku itu memang telah keluar dari kota asalnya untuk menjadi perantau. Ada yang tak kutemukan sama sekali, dan aku sadar pemiliknya memang tak pernah merantau ke mana-mana. Dan yang kutemukan banyak, memang benar adanya bila ia kerap merantau ke banyak daerah.
Namun tiba-tiba ada takut datang menodong. Begitu banyak sosok di sekitarku yang kutemui dengan tahi lalat di kakinya. Jangan-jangan dari orang-orang yang sering kutemui itu, akankah pendamping hidupku kelak juga memiliki tanda titik hitam yang menabur pencar seperti di kakiku?
Jawabanku terjawab pada satu demi satu kejadian. Sosok awal, ada di pacar pertamaku. Di angka usia 25 pada biodataku, sesosok pria dengan tahi lalat kaki sebanyak tiga mencoba melamarku. Sejenak, kucoba lupakan mitos yang telah menyergap otakku. Apalagi waktu kuceritakan mitos itu, priaku menjawab tegas lugas, "Takhayul!"
Sumpalan penyumbat legaku terlepas. Pria kekasihku yang pelaku ragam kisah di atas panggung pada banyak tempat itu, ternyata masih memiliki sisi kelugasan seorang pria yang berpegang di otak rasionalnya. Mungkin inilah orang yang akan menjadi tempatku berbagi hidup. Ia yang mampu menutupi kebiasaanku menyelidiki ketidakrasionalan hidup, dengan pola pikirnya yang lebih sering bermain di ranah rasional.
Namun nyatanya, kudapati ia juga perantau sejati. Kakinya tak pernah jenak di satu tempat. Kepercayaannya berikut kekuatan keyakinanku runtuh di saat kami memilih mengakhiri rencana masa depan kami berdua. Yang kami sama-sama sadari, dua perantau sejati tak mungkin bersatu untuk bertahan di satu tempat yang sama! Kali itu aku masih menjejakkan kaki di Batam. Dan ia memilih Jogja, tempat cinta pertamanya pada dunia lakon yang telah lebih mendekapnya dalam kenyamanan.