Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kalau Tidak Tahu Toleransi Agama, Pantaskah Jadi Pengguna Media Sosial?

13 September 2016   01:39 Diperbarui: 14 September 2016   10:23 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Musim pilpres beberapa waktu lalu rupanya membuat saya memiliki kesibukan baru. Bukan, bukan karena saya masuk tim sukses salah satu kandidat. Tapi karena mata saya benar-benar gatal melihat time line Facebook.

Dalam sehari, selalu saja saya menemukan postingan terkait SARA di jejaring sosial tersebut. Yang paling membuat saya jengah, adalah berita seputar tentang keyakinan salah satu kandidat, berikut keluarganya. Tentu tahu lah, kandidat mana yang saya maksud. Meski saya bukan pendukung kandidat tersebut, tapi entah mengapa saya tidak simpati dengan berita yang jika dibaca, isinya lebih mirip berita gosip murahan.

Walhasil, jadilah saya sok sibuk menyembunyikan postingan-postingan tersebut sampai melaporkannya sebagai bentuk spam, merubah status menjadi tidak mengikuti akun beberapa teman, bahkan hingga menghapus pertemanan.

Hehe, seperti terkesan kurang kerjaan ya? Padahal bisa saja saya memilih untuk tidak membuka Facebook. Tapi karena saya nggak mau kehilangan informasi terkait kepenulisan yang itu merupakan dunia kerja saya, ya akhirnya tindakan kurang kerjaan itulah yang saya lakukan.

Ternyata, saya tidak sendiri, lho. Beberapa teman saya juga melakukan hal serupa. Malah ada yang tanpa memandang apakah ia memang mengenal baik atau tidak teman Facebooknya tersebut di dunia nyata. Kalau memang dirasanya postingan-postingan teman Facebooknya itu tidak bermutu, dia langsung memilih hapus pertemanan.

Kalau saya amati, ulah teman Facebook yang hobi membagi berita tersebut bisa macam-macam bentuknya. Hal terkonyol menurut saya adalah, ada yang tertarik judul beritanya, lalu langsung pilih tombol share. Dia tidak membaca beritanya dulu lho! Lalu ketika ada orang yang sempat baca berita tersebut kemudian komentar ini itu, eh, yang bersangkutan bisa dengan enaknya berujar, “Maaf, saya tadi masih belum sempat baca.” Tragis!

Kekonyolan lain yang saya temukan di Facebook adalah yang membuat status berdasarkan opininya sendiri. Lalu, kekonyolan pun berlanjut dengan debat di bagian komentar, atau ada yang memilih mendebat postingan status tersebut dengan memposting status sendiri di Facebooknya.

Nah, iya kalau yang disindir membaca status tersebut. Kalau tidak, yang ada justru ada orang lain yang malah ‘baper’ alias terbawa perasaan, merasa kalau status itu untuk menyindirnya, lalu selanjutnya jadilah adu komentar baru.

Dari sekian kekonyolan tersebut, hal yang paling saya sayangkan adalah mereka yang selama saya kenal di dunia nyata adalah orang-orang yang bersahabat baik, lantas malah jadi tidak harmonis karena terlibat cekcok di Facebook. Padahal di kehidupan nyata, jauh ketika Facebook ada, saya sangat tahu, mereka bahkan tidak pernah menyingung urusan keyakinan sahabatnya dan malah saling menghormati. Tapi gara-gara pilpres, dan ketika Facebook masih jadi media sosial yang dipilh banya orang, semua kerukunan tersebut menjadi buyar!

Satu lagi yang sempat terbersit di pikiran saya adalah, apakah orang yang suka pasang status di jejaring sosial dengan menyinggung keyakinan umat agama lain itu, teman dunia mayanya satu agama semua dengannya? Apa tidak terpikir kalau ulahnya itu bukannya jadi dakwah yang baik, malah menjadi penyulut perpecahan antarumat beragama?

Sekian waktu berjalan, beberapa bulan sebelum ini, saya mulai menekuni dunia blogging yang mengarah ke Google Adsense. Ada fakta mencengangkan, menurut saya, yang saya temukan. Ternyata, ada lho blogger yang tak hanya membuat ulah murahan dengan main copy paste tulisan orang lain. Tapi, ada juga kategori blogger murahan lain yang kerjanya membuat tulisan berbau isu apalagi terkait agama, namun itu dilakukannya demi mendongkrak popularitas blognya. Yang ujung-ujungnya, dia mendapat keuntungan dari banyaknya orang yang membaca blognya. Benar-benar dia tidak peduli, apakah isi tulisannya itu memang fakta, hanya berdasar prasangkanya, atau justru berbau gosip murahan.

Sementara itu, banyak orang tidak tahu tentang hal tersebut. Orang-orang ini hanya terlibat euforia berbagi tulisan untuk dibaca orang lain di jejaring sosial. Mereka tidak peduli kebenaran isi tulisan yang dibaginya. Dan mereka juga tidak peduli atau tidak sadar, bahwa para pemilik blog tersebut sedang mengeruk keuntungan dari ulah mereka.

Saya sendiri meyakini, bahwa tidak ada keyakinan atau agama di dunia ini yang jahat. Kalaupun sampai ada yang menyakiti orang lain, saya yakin, itu bukan ajaran agamanya. Melainkan kedangkalan keyakinan dan pemahaman yang sempit dari manusianya sendiri.

Jadi kalau ada orang yang hobi membuat kerusuhan di media sosial dengan membagi berita murahan seputar agama atau keyakinan, bisa ditebak lho sebetulnya, seperti apa sih kualitas keimanannya. Sederhananya, orang-orang ini memiliki perilaku yang tidak baik terhadap manusia lain.

Sebetulnya janggal juga kalau melihat fenomena, orang-orang yang menggunakan media sosial tapi bersikap antisosial. Orang-orang ini hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, kepentingannya sendiri, dan tidak mau tahu tanggapan orang lain.

Sebetulnya, sudah berkali-kali saya memberi tahu hal ini ke teman-teman di Facebook. Terkait media sosial khususnya jejaring sosial, ada lho sebetulnya yang perlu kita perhatikan dan kita lakukan sebagai manusia sosial yang pakai media sosial.

  • Bila mendapat informasi, cari tahu dulu kebenarannya. Apakah beritanya itu dari media berita, ataukah blog pribadi milik perorangan. Apakah isi beritanya itu memang fakta yang terjadi, ataukan opini dan prasangka orang lain.
  • Jika menemukan informasi apapun, tanyakan dulu ke diri masing-masing, apakah info tersebut berguna untuk banyak orang atau tidak. Apakah akan menimbulkan konflik atau tidak. Ingat, kita sedang berada di ranah media sosial. Informasi yang kita bagikan akan dibaca banyak orang tanpa kita bisa mengontrol siapa saja yang akan membacanya. Termasuk kita tidak bisa mengontrol, dampak apa yang akan ditimbulkan dari tulisan tersebut.
  • Sadari keberagaman, miliki empati dan simpati, serta tahan diri. Ketika menggunakan media sosial, seharusnya siapapun menyadari bahwa mereka sedang memilih sebuah hubungan sosial yang ada dunia maya. Hubungan itu bisa menjangkau orang yang kita kenal atau tidak di dunia nyata. Kelemahan dari hubungan sosial lewat dunia maya adalah besarnya kemungkinan miskomunikasi. Kita tidak sedang bertatap muka langsung dengan orang lain. Kita tidak tahu, seperti apa kondisi nyata dari siapa saja yang mungkin terlibat komunikasi dengan kita. Maka tak heran, ada yang sudah kenal di dunia nyata malah justru tidak akur di dunia maya atau munculnya kerentanan konflik dengan orang yang tidak kita kenal di dunia nyata.
  • Berbagi tentang hal apapun yang terkait keyakinan masing-masing dan tidak menyingung atau merendahkan keyakinan lain. Misalnya, berbagi berita atau artikel tentang mukjizat atau peristiwa yang sukar dinalar oleh akal manusia dan terkait dengan keyakinan masing-masing. Asal bukan berita palsu lho ya. Atau, saya sebagai umat Islam menuliskan status bersyukur kepada Allah tentang apa yang telah saya alami. Teman saya yang Katolik, menuliskan status mengagumi kebesaran Tuhan Yesusnya usai menyadari sesuatu yang ia alami di dunia nyata. Hal-hal seperti itu sah-sah saja dibagikan kepada publik dengan kondisi keberagaman keyakinan atau agama.

Jika niatnya ingin berdakwah, sebetulnya begitu banyak cara damai yang bisa dilakukan. Tentunya siapapun tidak akan simpati bukan, jika menghadapi orang-orang yang melakukan hubungan sosial dengan mengawalinya melalui konflik?

Yah, namanya saja media sosial. Tentunya diperlukan sikap penggunanya yang bisa bertolerasi sosial. Tapi kalau penggunanya tidak menyadari keberagaman apalagi kerukunan beragama, sepertinya orang-orang seperti itu belum pantas menggunakan media sosial.

Tulisan ini sudah dibagikan di media sosial milik penulis:

Facebook: http://www.facebook.com/imsusanti
Twitter: http://twitter.com/ikamayasusanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun