Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi banyak pula melunturkan budaya - budaya yang ada di sebuah masyarakat. Salah satunya adalah budaya malu. Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti yang beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya, dan kemudian ingin ditutupinya ( Wikipedia Bahasa Indonesia).
Sebagai sebuah emosi dari manusia , rasa malu menjadi sebuah benteng yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku dan tindakan seseorang. Tindakan dan perilaku dari seorang individu dapat mendatangkan konsekuensi pada diri manusia, salah satunya yaitu konsekuensi secara sosial atas tindakan dan perilaku individu. Konsekuensi tersebut berupa sanksi sosial yang akan diterima individu atas tindakan dan perilakunya. Sanksi sosial tersebut bisa berupa pujian, kritik bahkan celaan.
Namun seiring dengan perkembangan peradaban manusia, perlahan budaya malu itu mulai terkikis. Sanksi sosial tidak lagi mendatangkan rasa malu, begitu apatisnya manusia sekarang.
Seperti sebuah contoh datang dari pengalaman saya, ada yang rela meminjam uang hanya untuk membeli pakaian - pakaian dengan merk ternama, begitu juga ada yang merasa malu jika harus mengatakan tidak memiliki uang, alhasil meminjam uang hanya untuk jalan - jalan dengan teman.
Sudah hilangkah budaya malu?
Dengan perkembangan dunia digital orang berlomba - lomba untuk membentuk citra dirinya yang akhirnya mengikis budaya malu tersebut. Dalam perspektif konsumsi budaya seseorang melakukan konsumsi budaya itu secara sadar sebagai penanda status sosialnya. Perkembangan teknologi digital telah membuat konsumsi budaya itu secara nyata dilakukan, terutama budaya massa.
Lagi - lagi saya harus menyerang kapitalisme, tidak bisa dipungkiri lagi dengan adanya media sosial orang banyak memperlihatkan citra dirinya. Misalnya , citra sebagai orang kaya, yang tiap pergi makan di restoran harus difoto dan disebarluaskan di media sosial ( hehehe..pada ngaku gak?) , citra sebagai anak kekinian yang selalu pergi jalan - jalan atau piknik.
Semua tindakan tersebut semata - mata dilakukan hanya untuk menunjukkan citra diri, selera atas produk budaya menjadi penanda status sosial seorang individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H