Pangan memiliki arti penting dalam eksistensi peradaban manusia. Sebagai kebutuhan primer, pemenuhan pangan bagi setiap warga negara adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Lantas, bagaimana intervensi fiskal negara guna memastikan pangan terpenuhi?
Ihwal ketahanan pangan global menjadi agenda prioritas dalam pembahasan di forum internasional. Disrupsi rantai pasok dunia akibat kondisi geopolitik Rusia-Ukraina disinyalir menjadi faktor pemicu utama krisis pangan. Quo vadis Indonesia?
Indonesia mengangkat kerawanan pangan sebagai isu krusial dalam keketuaan G20 2022 dan ASEAN 2023. Pasalnya, bencana kelaparan akan berdampak destruktif dalam aspek kehidupan manusia. Ancaman serius kesehatan, instabilitas sosial-ekonomi, hingga penurunan kualitas pembangunan manusia, tak pelak menjadi risiko masif yang berpotensi terjadi.
Sebagai negara agraris, Indonesia pernah menyandang gelar swasembada pangan pada dekade lampau. Kini, Indonesia menetapkan visi menjadi lumbung padi dunia pada 2045.
Sayangnya, saat ini kesenjangan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) provinsi masih sangat signifikan. Sebanyak 70 dari 416 kabupaten (16,83 persen), serta 4 dari 98 kota (4 persen) tercatat memiliki IKP rendah (Lemhanas RI, 2022). Lantaran itu, strategi perlu diformulasikan untuk mengembalikan kejayaan pangan Indonesia guna mencapai target di 100 tahun usia kemerdekaan.
Dimensi ketahanan pangan
Ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Empat dimensi fundamental ketahanan pangan adalah ketersediaan, aksesibilitas, utilisasi, dan stabilitas (Hassen & Bilali, 2022). Tanpa kelaparan menjadi tujuan nomor dua dalam rencana Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Indonesia tahun 2030 (Bappenas, 2023). Tahun tersebut adalah tahun Indonesia meraih bonus demografi, dimana usia produktif akan lebih mendominasi populasi.
Berikut adalah tiga diantara target yang dicanangkan dalam SDG Indonesia 2030.
Pertama, menghapus kelaparan dengan menjamin setiap individu miskin dan rentan mendapatkan akses terhadap makanan bergizi, aman, dan cukup sepanjang tahun. Poin ini erat dengan target menurunkan angka stunting melalui pemenuhan gizi anak, remaja, ibu hamil dan menyusui, serta manula.