Mohon tunggu...
Ika Hentihu
Ika Hentihu Mohon Tunggu... -

Ika Farihah Hentihu lahir dan besar di kota Malang Jawa Timur, pengajar di jurusan sastra Inggris. Saat ini sedang tertarik kepada sejarah, antropologi dan budaya Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Kuliner di Makassar

7 Oktober 2011   06:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:14 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari di Makassar benar2 membuaatku tercengang terutama kulinernya. Semua adalah hal2 baru, menu2 baru dan resep2 baru yang tak pernah kujumpai di kota kelahiranku, kota Malang.

Sesaat sampai di Makassar waktu sudah mencapai pukul 12 malam. Di hotel dimana adikku menginap akupun langsung merebahkan diri..di lantai. Tubuh capekku benar2 lunglai setelah menempuh perjalanan penuh getar dalam pesawat Batavia. Bagai perjalanan pertama saja layaknya, karena dulu duapuluh tahun lalu aku pernah merasakan jauhnya perjalanan seperti ini.

Namun karena sudah berlalu lama, aku rasakan seperti baru kembali.  Ternyata perasaan takut itu menjelma. Di dalam pesawat kukuatkan hatiku, semua doa seolah kubaca. Stewardess melihatku dengan heran, sepertinya dia tahu apa yang kurasakan. "Bisa saya ambilkan minum bu?" tanya dia ramah. Aku hanya menggeleng. Aku tak berani menatap jendela bundar itu. Jendela itu memperlihatkan pemandangan yang cukup dalam dan jauh yang seolah menakut2ti kedua bola mataku.

Tapi semua ketakutan itu musnah setelah stewardess mengatakan bahwa sebentar lagi kita sudah akan landing di bandara Sultan Hasanuddin. Oh perjalanan panjangku, perjalanan yang telah kutunggu2 semenjak 6 tahun yang lalu. Aku berteriak dalam hati "Karaeng Galesong, aku datang untuk tunaikan janjiku.." Dan tibalah aku di bandara yang cukup mewah ini. Kulihat perahu biru berdiri tegak..ah ini pasti kapal Phinisi. Begitu melihat miniatur kapal ini, semangat foto2ku meluap. Kuambil gambar sebentar dan kemudian kutunggu taksi bandara yang akan mengantarku ke hotel dimana adikku menginap.

Hari pertama kuhabiskan waktu di Galesong bersama keluarga Prof. Aminuddin Salle. Beberapa tempat kulewati termasuk sebuah jembatan kecil yang tidak cukup dipakai untuk dua mobil. Disana terdapat banyak pedagang ikan segar, ikan yang baru ditangkap pagi itu. Ada ikan cumi2 yang cukup besar hingga membuat kuterbelalak melihatnya. Dan yang jelas cumi2 itu masih hidup karena masih bergerak2. Punggungnya sempat berubah2 warna. Aku tak pernah melihat ikan ini dalam keadaan hidup. Dan di Galesong ini, mataku terbuai dengan kemolekan cumi2 itu meskipun sudah siap untuk dijual. Ibu Aminuddin tidak sempat melihat ikan yang masih hidup ini dijual saat kita melewati para penangkap ikan itu. Beliau sempat bertanya, apa di Malang cumi2 tidak sebesar itu. Dan dengan ringan kujawab bahwa Malang itu gunung. Kami sulit untuk mendapatkan ikan sebesar ini, apalagi cumi2 itu. Sambil kumelirik ke arah ikan yang legi berdenyut2.

Sebelumnya Prof. Aminuddin mengajak kami ke sebuah warung Coto. Beliau mengatakan bahwa Coto ini sangat terkenal. Letaknya di Sungguminasa. Itulah mengapa dinamakan Coto Sunggu. Pemilik Warung Coto ini sendiri yang melayani pembeli dengan menyajikan ke tiap mangkok2nya. Beliau sempat tertawa2 saat Prof. Aminuddin tiba di warung kuno ini. Ternyata Prof. Aminuddin dan keluarga sudah menjadi pelanggan tetap di Warung Coto ini. Apa keistimewaan Coto ini sebenarnya. Menurut Pak Sudirman, pemilik warung Coto ini, bumbunya coto beliau adalah warisan turun temurun dari kakeknya yang tinggal di Sungguminasa juga. Dan resep itulah yang dipakai turun temurun sampai sekarang tanpa ada perubahan.

Prof. Aminuddin pun sempat memuji coto Sunggu ini. Beliau penggemar berat kuliner Makassar ini. Namun karena bahan2 adalah jerohan sapi, beliau sudah mulai sedikit2 membatasi. Saya katakan disitu ada air jeruk, bisa menetralkan sedikit2 daging2 coto ini. Dan juga minum teh atau makan buah mentimun, adalah salah satunya juga yang akan menetralkan kuah coto tersebut. Dan beliaupun mengangguk tanda setuju.

Hari pertama puasa di Makassar, tante ku yaitu keluarga dari ayah yaitu ibu Etty Bazergan mengundang untuk berbuka. Wah bener2 kesempatan langka bisa menikmati kuliner asli saat Ramadhan, di Makassar lagi..!  Hampir menjelang maghrib sesampai rumah beliau kemudian ngobrol2 sebentar dan tibalah waktu adzan berkumandang. Berhubung tante adalah keturunan Ambon Makassar, maka masakan2 yang tersaji disana adalah kuliner Ambon Makassar juga. Beliau memasak cukup banyak hingga saya berdua dengan adik terbelalak. Duh banyak sekali..!

Yang jelas selalu ada Jalankote, sejenis penganan berbetuk pastel berisi bihun dan ikan. Makan jalankote ini dengan sambal cair seperti sambal soto. Untuk takjilnya, tante Etty Bazergan membuat es buah yang penuh dengan buah leci.  Ada juga tahu isi, kemudian tar kelapa dan lumpia. Setelah shalat maghrib, kami menuju meja makan yang juga sudah penuh dengan hidangan2 khas. Ada udang goreng, ikan kerapu bakar, cumi2 goreng, dan yang paling penting dan kutunggu2 adalah Colo-colo. Ini bener2 beda dengan yang biasa kubuat di rumah. Colo-colo bikinan tante Etty ini diberi tambahan irisan mangga dan ada campuran kacang giling didalamnya. Hmm sambel khas yang satu ini sudah mengalami perubahan karena disesuaikan dengan keadaan setempat. Makassar awal Ramadhan saat itu penuh dengan pohon mangga yang lagi berbuah ranum2nya. Dan kualitas mangga di Makassar sangat bagus meskipun cuacanya panas. Beda dengan di Malang. Entah kenapa mangga di Malang matangnya tidak seimbang dan buahnya tidak terlalu banyak.

Ada satu lagi sambal yang sangat khas dihidangkan di meja yaitu sambal mangga. Hmm sambal mangga ini segar sekali. Tante bilang padahal hanya diserut saja diberi potongan cabe dan garam. Entah mengapa, bumbu yang sangat sederhana membuatku nambah nasi sampai sepiring lagi. Dan uniknya aku menemukan sambal mangga ini di tiga tempat yang sama yaitu di rumah tante, Ibu Etty Bazergan kemudian di kediaman keluarga Prof. Aminuddin Salle dan yang terakhir dirumah sahabat di Galesong keluarga Larigau Daeng Mangingruru. Apapun alasannya, sambel mangga ini tidak bisa lepas dari hidangan kuliner khas Makassar. Dimanapun bentuk dan resepnya sama, mungkin yang membedakan hanyalah ikan yang akan disantap untuk menyocol.

Menghabiskan malam di Makassar akan sangat lengkap bila dibarengi dengan menyantap es campur dan tahu batagor di pantai Losari. Lokasi pantai ini cukup panjang yang di ujung pantai berakhir dengan sebuah benteng klasik yaitu Fort Roterdam. Di sepanjang pantai yang cukup terkenal inilah banyak pengunjung dimanjakan dengan kuliner khas Makassar. Sempat dua kali saya menyantap es campur. Sebuah hidangan minuman segar campur2 yang ditaburi dengan kacang telur. Rasanya benar2 unik karena ada taburan kacang telurnya. Kadang kita berpikir panjang, es campur yang kita inginkan itu minum dengan isi buah2an dan cendol di dalamnya. Tapi dengan ditaburkannya kacang telur, ternyata rasanya jadi jauh berbeda. Dan yang jelas ada sedikit rasa gurinh2 yag diperoleh dari kacang telur tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun