Galesong, Pada Sebuah Upacara Adat Oleh : Ika Farihah Hentihu (Daeng Te'ne) Upacara adat Takalar Gaukang bukan hanya cikal bakal terbentuknya pemukiman dan pusat pemukiman masyarakat di Kabupaten Takalar, tetapi juga merupakan awal dari terbentuknya kepemimpinan dalam masyarakat sebagai satu kesatuan. Beberapa waktu lalu, Balla Lompoa Galesong, sebuah istana klasik di Galesong Takalar menjadi saksi peringatan hari ulang tahun (Tammu Taunna) Gaukang Karaeng Galesong yang ke-248. Tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun setiap tahun itu dihadiri oleh Wakil Bupati Takalar Drs. H. Andi Makmur A. Sadda, MM, Wakil Ketua DPRD Kab. Takalar, para kepala dinas, Ketua Tim Penggerak PKK Kab. Takalar, Pemangku Adat Karaeng Galesong, para Sesepuh, tokoh adat, dan warga masyarakat setempat. Peringatan Tammu Taunna ini diawali dengan ritual Appalili, yaitu mengelilingi kampung yang dimulai dari kompleks rumah adat menuju ke Bungung Barania. Arak-arakan ini diiringi oleh rapak gendang khas Makassar serta tari Pa’rappunganta yang menunjukkan empat simbol daerah seperti Makassar, Bugis, Tana Toraja dan Mandar. Hal yang unik dalam ritual Appalili ini adalah tiga gadis kecil yang diusung di dalam keranda serta seekor sapi yang berada di barisan paling depan rombongan. Bungung Barania adalah sumur tua yang menjadi tempat mandi Karaeng Galesong dan diyakini oleh masyarakat bisa mendatangkan keberanian. Anehnya, lokasi sumur ini sangat dekat dengan laut, namun airnya tidak asin. Air sumur ini diambil oleh pemangku adat dan dibawa ke Balla Lompoa Galesong untuk digunakan mencuci benda-benda pusaka kerajaan. Saat ini satu drama sebabak mengulang kejayaan Kerajaan Galesong pun dimulai. Galesong hanyalah sebuah anak Kerajaan dari Penguasa Gowa, Sultan Hasanuddin. Namun Galesong semakin mendunia karena hijrahnya Karaeng Galesong, penguasa pertama Galesong menuju ke kota Malang Jawa Timur. Bungung Baraniya ini adalah saksi awal dari proses kepergian I Manindori Kare Tojeng meninggalkan Galesong untuk selamanya. Semua senjata, badik, tombak, bahkan semua tubuh para lasykar Galesong dimandikan disana. Lokasi Bungung Baraniya berdekatan dengan Pantai Galesong dimana sangat terlihat jelas adanya pusaran kuat tak jauh dari bibir pantai. Disinilah semua lasykar Galesong dididik terutama setelah dimandikan di sumur ini. Pusaran kuat di laut Galesong menjadi kawah candradimuka bagi setiap lasykarnya. Rombongan kembali menuju Balla Lompoa Galesong melalui jalan yang berbeda. Sesampai di Balla Lompoa, rombongan mengelilingi Balla Lompoa sebanyak tujuh kali, kemudian sapi yang ikut dalam arak-arakan disembelih di halaman Balla Lompoa. Asal mula keberadaan Gaukang Karaeng Galesong bermula dari temuan gaib salah seorang papekang (pemancing), pada masa kepemimpinan Karaeng Galesong III, Karaeng Bontomarannu yang diteruskan I Djakkalangi Daeng Magassing. Suatu ketika, pappekang tersebut menghadap ke salah seorang tokoh masyarakat, Daengta Lowa-Lowa, di Kampung Ujung di sekitar pesisir Pantai Galesong bahwa dirinya telah dua kali diperlihatkan peristiwa gaib saat memancing di tengah laut. Peristiwa yang dialami pappekang tersebut, dua Jumat berturut-turut. Temuan gaib pappekang itu berupa bunyi-bunyian dari suara khas gendang, royong, pui-pui, lesung, dan berbagai suara lainnya. Suara itu pun terkadang dirasakannya sangat dekat dan adakalanya sayup-sayup. Tanpa diketahuinya, seiring matahari terbit, dari utara sebuah benda aneh semacam potongan bambu abu-abu tiba-tiba muncul dan kemudian hilang sekejap dari hadapannya. Pappekang ini juga mengaku kalau bermacam-macam suara gaib yang didengarnya sontak menghilang. Dari laporan inilah, Daengta Lowa-Lowa kemudian mengklaim bahwa peristiwa tersebut kemungkinan rahmat dari Allah S.W.T. yang ditujukan untuk keslamatan Galesong dan masyarakatnya. Dan semua itu sedikit banyak diinterpretasikan dalam kreasi seni khas ciptaan putra putri Galesong saat merayakan upacara adat. Tarian-tarian adat dan permainan perkusi khas Galesong menjadi semarak di sebuah upacara mengulang event klasik dan lampau di Galesong. Prof. Dr. Aminuddin Sale yang masih merupakan keturunan Karaeng Galesong mengatakan, peristiwa ini harus terus dilestarikan. Tanpa terkecuali, seluruh masyarakat di Kabupaten Takalar. “Kita semua harus bercermin kepada Jepang. Upaya untuk terus menjaga dan mempelajari Sejarah leluhurnya, mereka mampu menguasai separuh dunia ini,” katanya. Peneliti manca negara Iwata Go dari Jepang yang tertarik pada budaya Galesong pun hadir dalam upacara adat ini. Ika Farihah Hentihu Salama'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H