Ana sedang jatuh cinta. Terlihat sekali dari raut wajahnya yang selalu berseri-seri. Menurut ceritanya selama ini, ia sekarang tengah menjalin hubungan istimewa dengan seorang laki-laki berusia tujuh tahun lebih tua darinya.
“Dia sangat manis , lembut dan begitu perhatian. Aku mencintainya. Aku bahkan memujanya!” Ana tampak gembira sekali ketika menceritakannya. Membuatku seketika membayangkan betapa sempurnanya lelaki yang dimiliki Ana itu.
“Bukannya kamu sudah putus dengan dia Na?” tanyaku, teringat curhatnya tempo hari tentang ia yang sedang patah hati.
“Aku balikan. Aku sadar dia begitu istimewa, dan aku berjanji aku tidak akan pernah melepaskannya lagi,” senyum di bibir Ana begitu indah, nampaknya itu ungkapan dari hati terdalamnya. Aku pun turut merasakan getar kebahagiaan yang tengah ia rasakan.
“Jadi, sudah berapa lama kalian pacaran?” selidikku kembali.
“Emmm, kira-kira sudah hampir lima tahun. Dua bulan lagi kami akan merayakan hari jadian kami. Kamu datang ya..”
“Aku? Tapi..” aku tertegun, selama berbulan-bulan Ana menceritakan tentang kekasihnya, belum sekalipun ia memperkenalkannya padaku. Apa yang membuatnya akhirnya ingin mempertemukan aku dengan kekasihnya?
“Ayolah, kamu kan teman terbaikku, aku ingin kamu ada di sana saat itu.”
“Baiklah.”
***
Sakit hati itu seperti patah tulang. Nyeri dan nyilu saling bersahutan, meremas-remas hati hingga benar-benar remuk. Ana saat ini tengah merasakannya. Dari awal masuk ruangan ia sudah uring-uringan. Semua hal selalu membuatnya marah, walaupun itu cuma hal yang amat sepele. Seperti ketika Siska ingin meminjam catatannya, Ana malah marah-marah serta mencaci maki gadis itu. Dan baru berhenti saat Dosen memasuki ruangan.
“Kamu kenapa sih Na, dari tadi marah-marah terus?” aku memberanikan diri bertanya pada Ana di akhir perkuliahan.
“Aku benci sama dia, aku benci!!”