“Dia siapa?”
“Dia lelaki yang sangat aku cintai sekaligus aku benci. Ingin rasanya aku membunuh dia.”
“Memangnya apa yang dia lakukan?”
“Dia… dia tidak datang kerumahku tadi malam. Dia ingkar janji!” Ana mulai terisak.
Aku tidak mengerti jalan pikirannya. Kemarin ia baru saja mengatakan betapa manisnya kekasihnya itu, dan hari ini ia mengatakan ingin membunuh lelaki itu. Apakah cinta sebegitu rumitnya? Membuat pengikutnya begitu tergila-gila hingga menjadi benar-benar gila? Kini Ana menangis sesenggukan. Aku bungkam. Keberadaan cinta semakin tak kupahami maknanya. Banyak orang yang mengagung-agungkan cinta, banyak pula yang malah mengutuknya. Dan aku benar-benar tidak tau aku berada di pihak mana. Gambarannya bisa jelas kulihat melalui sosok sahabat baruku, Ana. Suatu hari mungkin ia bisa tertawa-tawa atas nama cinta, namun di hari berikutnya ia akan menangis oleh sebab yang sama.
Apa sebenarnya cinta itu? Sesuatu yang menciptakan kepribadian ganda? Ataukah cinta hanyalah korban dari orang-orang yang justru tidak mempunyai kepribadian? Entahlah. Cermin yang kutemui pun tidak pernah memberikan jawaban tentang cinta. Cermin yang berupa seorang sahabat baruku bernama Ana itu justru melemparkan ketidakpastian tentang cinta yang dialaminya.
***
Seringkali aku mengajak Ana untuk pulang bersama, tetapi ia selalu menolaknya lantaran akan dijemput oleh kekasihnya.
“Hari ini dia akan menjemputku, maaf ya.”
Dan selalu pula kudapati Ana pulang dengan angkutan kota. Sempat terpikir olehku bahwa kekasihnya sebenarnya adalah seorang sopir angkot, selama ini ia selalu mengatakan bahwa lelaki itu adalah seorang dokter muda. Apakah ia malu mengakui yang sebenarnya?
Namun suatu hari Ana mengajakku kepantai, hal yang sangat jarang terjadi. Dan di tengah kepungan pasir putih yang berbinar, kami duduk, menatap mentari sore yang kian membesar dan tenggelam indah membelah lautan. Lama sekali kami terdiam, hingga ketika mentari telah di ujung hilang, Ana mulai bicara,
“Aku sudah menyiapkan semuanya. Baju, makanan, kebun bunga, dan segala macam perlengkapan untuk pesta bulan depan.”
“Kamu melakukannya sendiri? Apa dia sibuk?”
“Ya. Dia sangat sibuk, sibuk sekali…” raut wajahnya berubah ketika kalimatnya mengambang di senja kala itu. Ana menitikkan air mata.
“Kenapa Na? apa ada masalah? Dia ingkar janji lagi?”
“Tidak. Dia tidak pernah ingkar janji. Dia akan datang, pasti akan datang. Walaupun aku melakukan segalanya sendiri, ia pasti akan sangat senang,” dia tersenyum, seiring aliran air yang semakin deras mengguyur pipinya.