Alan mengamati Duwi yang sedang sibuk menggerak-gerakkan bibirnya dengan cepat. Ini anak kok hari ini tampangnya memelas banget,muram. Mana dia item lagi, jadi makin nggak kelihatan deh tuh muka, pikir Alan dalam, sambil geleng-geleng sendiri.
“Kamu ngerti kan, maksud saya?” Duwi berhenti bicara. Pertanyaannya membuat Alan semakin menggeleng. Duwi menggebrak meja kantin, frustasi, “Kamu nggak dengerin saya?”
“Males. Omongan kamu panjang banget kayak rel kereta. Intinya aja deh,” pinta cowok tinggi itu pada sobatnya.
“Cewek saya, si Villa, dari kemarin cemberut melulu. Dia nggak mau cerita kenapa. Jadi nggak asyik eh pokoknya.”
“Gara-gara muka kamu kali, bikin boring.”
Duwi makin cemberut. Niatnya mau curhat, malah dicela-cela.
“Udah tenang aja. Biar saya deh yang bantuin bikin cewek kamu bisa senyum senang dan adem ayem,” Alan kembali menggeleng. Namun gelengannya itu bukan karena masalah Duwi. Sementara Duwiyang melihat frekuensi gelengan kepala Alan yang agak berubah, terusik juga. Alan memang selalu membantunya dengan tulus dan tidak pernah mengeluh atasmasalahnya sendiri, makanya Duwi memutuskan untuk nanya-nanya,
“Kamu lagi ada masalah ya Lan? saya bias liat dari muka kamu yang kusut kayak jemuran dan badan kamu yang lempeng kayak triplek.”
Alan kaget dan melotot ke arah Duwi, “Kalo itu sih emang dari dulu,”Glubrak !! “Ini bukan sekedar masalah Wi, ini masalah problem yang pelit,” wajah Alan gundah gulana.
“Pelik kale,” kali ini giliran Duwi yang geleng-geleng kepala.
“Iya, pelik maksudnya. Eh, tapi ngapain kamu geleng-geleng? Itu kan, karakteristik khas saya,” Alan protes, dan menjitak dengkul Duwi. Loh, kok dengkul?
Lalu Alan mulai bercerita sepanjang meteran jahit dan selebar lapangan parkir sekolah tentang gimana hati dan jantungnya pukul-pukulan tiap kali bersama Shiya, cewek manis temen sekelasnya. Shiya itu sebetulnya ceroboh banget. Tiap jalan selalu meleng dan nabrak-nabrak, tapi justru tingkahnya itu yang bikin Alan nggak bias melupakannya. Apalagi tampangnya manis banget. Saking manisnya, tiap persediaan gula dirumah Alan habis, tuh cowok langsung nyamperin Shiya kerumahnya sambil bawa teh. Hihihi ngapain coba? Ya minta gula !
“Ngomong aja Lan, daripada kamu tahan. Sebetulnya bukan cinta yang membuat kita sedih atau senang, melainkan si pencinta itu sendiri. Karena cinta itu anugerah yang mudah dirasakan tapi difficult banget untuk mendapatkannya.”
“Bener juga kamu Wi. Kata-kata kamu bener semua. Tumben banget, biasanya kan kamu cuma bener 5,” Alan tersenyum. Duwi melengos.
“Gini Lan, kamu bantuin saya bikin Villa jadi nggak senewen lagi sama saya, dan saya akan bantuin kamu pendekatan sama Shiya, oke kan?”
Alan setuju, dan sedelapan, bahkan Sembilan, malah kalau perlu sepuluh sekalian. Ia geleng-geleng kepala lagi.
***
Kata Duwi, hari minggu ini Shiya pergi liburan ke rumah neneknya disebuah kampung halaman yang cukup jauh dari rumahnya. Duwi sudah memberikan peta jalan menuju rumah nenek Shiya. Menurut Duwi, mendingan mengungkapkan cinta ditempat dan moment yang pas, misalnya dikamar pas atau direstoran pas food (hehe maksa banget!). Jangan disekolahan, ntar yang keluar bukannya kata I love you, malah 4x4=16, sempat nggak sempat harus dibalas deh.
“Kalau kamu dateng ke rumah neneknya yang jauh itu, dia akan surprised, dan tau kamu punya perhatian khusus sama dia.”
Dengan kata-kata Duwi dikepalanya, anak SMA yang kurus, tinggi, dan rada-rada lumayan cakep bernama Alan itu langsung cabut kedokter gigi, eh, maksudnya kerumah neneknya Shiya, bersama sang vespa nyentrik kesayangannya bernama Budi. Kenapa dikasih nama Budi ya? Kata Alan sih, karena Budi adalah nama yang pertama kali bisa diucapkan oleh anak-anak yang baru belajar membaca. Inget kan waktu kita TK atau SD dulu, sering diajari membaca kalimat ‘ini ibu Budi’ atau ‘ini bapak Budi’, pokoknya keluarga si Budi deh. Dan si Budi vespa memang telah menemani Alan dari kecil. Alan pun meluncurkejalan mengikuti petunjuk peta dari Duwi, yang pernah nemenin ceweknya kerumah nenek Shiya.
Mungkin karena memasuki daerah perkampungan, medan yang ditempuh pun mulai terasa membingungkan, karena banyak tikungan dan gang-gang kecil, belum lagi jalan yang berbatu dan mulai rusak, membuat Alan benar-benar bingung.
Peta menuntut Alan memasuki sebuah jalan yang super sempit disebelah kanan. Alan terus melaju, namun laju si Budi terhalang oleh seorang kakek yang udah tua, (ya iyalah!), yang berjalan super lambat dan tersendat-sendat didepannya. Mana nggak ada jalan lain, padahal cuma tinggal seratus meter dari ujung jalan. Satu menit Alan menunggu, tuh kakek baru jalan tiga puluh senti! Alan mulai nggak sabar. Mau diklakson, kasian, ntar kaget, jantungan, trus mati lagi. Mau diboncengin, makin nggak mungkin, medannya kayak jalan setapak gini!. Alan akhirnya menyerah dan menunggu. Cowok dengan setelan necis itu menunggu sambil membaca ulang peta Duwi, lalu nongkrong sambil manyun diatas vespanya, sampai tiduran dijalan sempit yang lengang itu, malah sempet-sempetnya dia mimpiin Shiya! Dan setelah setengah jam menunggu,akhirnya tuh kakek sampai diujung jalan, Alan segera bangun dan tancap gas lagi.
Namun senyum Alan masih berada diantarakesialan dan keapesan, saat seorang ibu yang sedang memasukkan tabung-tabung gas elpiji kedalam warungnya, tiba-tiba menghentikannya, “Bang bang, bantuin bentar bang,” kata sang ibu sedikit memaksa.
Bang bang, emang saya bang Toyib? Alan membatin. Karena sejak kecil ia selalu diajarkan untuk membantu orang lain, Alanpun akhirnya membantu sang ibu membawa sekitar 20 tabung elpiji 10 kg masuk kedalam warungnya. Walaupun pegel-pegel, keringetan, dan hampir pingsan, sampai patah tulang (lebay), toh Alan senang juga bisa meringankan beban orang lain. Dan setelah menyantap gorengan yang dihidangkan ibu tadi, alan segera melanjutkan perjalanan. Alan merasa bak Kera Sakti yang telah melewati satu demi satu halangan dan rintangan yang menghadang.
Dan Alan pun kesasar. Ia keluar masuk gang-gang kecil di daerah itu, tapi kayak muter-muter aja. Alan panik, mana hape-nya ketinggalan dirumah(saking semangatnya mau ketemu Shiya), jadi nggak bisa nelepon si item deh. Dan ketika Alan sedang berakting sebagai setrika, (maksudnya mondar-mandir gitu), datang seorang pengemis. Alan segera memberikan selembar seribuan dari sakunya.
“Nggak mau Mas, cepek aja,” kata sang pengemis, menolak.
“Dikasih seribu kok malah minta cepek?” Alan heran, namun masih saja mondar-mandir.
“Sudah karakter Mas. Cepeknya mana Mas?”
“Nggak ada recehan,” Alan geleng-geleng kepala.
“Tuker diwarung sana aja Mas.”
“Ya udah deh, yuk,” kata Alan, masih menggeleng. Dasar, mau iya, mau nggak, tetep aja geleng-geleng.
Alan dan si Abang pengemis sampai disebuah warung yang jaraknya cukup jauh, setelah menukar uang dan menerima cepek, sang pengemis pun melenggang pergi. Tepat saat itulah Alan mendapat pencerahan. Tak jauh dari tempatnya,ia melihat sebuah rumah sederhana dan asri bernomor 17, bercat putih, serta memiliki pintu dan juga jendela! Tepat seperti itulah ciri-ciri rumah nenek Shiya.
Alan mengetuk pintunya, dan muncullah Shiya. Dia pasti kaget banget saya ada disini, pikir Alan senang. Segala rasa capeknya tiba-tiba saja menguap.
“Alan? Akhirnya kamu sampai juga..” kata Shiya dengan wajah lega.
“Loh, kamu kok nggak surpeised? Kamu udah tau saya mau kesini ya Shi?”
“Iyalah, Duwi udah 5 kali telepon kesini nanyain kamu udah datang atau belum, hihihi,” Shiya tersenyum geli. Alan lemes. Ia terduduk selonjoran dilantai teras rumah nenek Shiya, Shiya pun melakukan hal yang sama.
“Dasar item.. ! padahal saya udah susah-susah dan capek-capek nyari alamat nenek kamu ini. Kesasar, ketemu pengemis aneh, ibu-ibu elpiji, kakek-kakek yang udah tua, cuma buat bilang kalau saya suka sama kamu… “ Alan bengong, ia kelepasan omong. Ia memalingkan muka, malu sendiri. Alan nggak berani memandang Shiya. Shiya tersenyum, belaian lembut mendarat ditangan Alan.
“Aku ambilin minum dulu ya,” Shiya bangkit, namun saat ia berbalik, tak sengaja ia menabrak pilar dibelakangnya, “Aduh..” Alan menoleh. “Kok ada tembok sih disini, siapa yang mindahin ya?” kata Shiya gugup.
Alan tersenyum lega, disetiap pengorbanan selalu ada kesialan, eh, maaf, kebahagiaan.
***
Jadi, kamu udah nggak marah sama saya?” Duwi sedang berada ditaman belakang rumah Villa, ceweknya.
Villa mengangguk, senyumnya terus mengembang. Berarti Alan berhasil, yess! Pikir Duwi girang.
“Emm, ngomong-ngomong, emangnya Alan bilang apa sama kamu?” tanya Duwi.
“Alan bilang.. kamu mau bayarin SPP aku selama setahun,” ujar Villa girang bukan kepalang.
“Hahh????????” sementara Duwi berhasil kejang-kejang dengan gemilang.
Alan sialaaaaaannn !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H