Beredar pemberitaan di sejumlah media bahwa salah satu pemerintah daerah di Pulau Jawa  dalam hal ini salah satu dinas yang mengurusi lingkungan hidupnya ditengarai tidak transparan terkait penerbitan ijin Analisa Dampak Lingkungan (Amdal). Pemberitaan ini rupanya meluas dan publik ramai-ramai 'ngerujak' pemerintah daerahnya. Hingga sepekan  tak ada sama sekali counter resmi dari yang terkait sehingga opini makin liar dan merembet ke mana-mana.
Saya perhatikan, hal ini rupanya tidak terdeteksi sejak dini baik oleh dinas yang bersangkutan juga oleh dinas yang mengurusi informasi dan komunikasi padahal dalam salah satu sub kegiatannya jelas ada pekerjaan monitoring media dan pengelolaan opini dan aspirasi publik yang tentu saja wajib dijalankan baik dalam kondisi ada atau tidak ada penganggarannya.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren Bidang Komunikasi dan Informatika yang merupakan turunan dari  Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas menyatakan bahwa urusan komunikasi dan informatika adalah wajib dijalankan oleh pemerintah daerah dan disebut sebagai urusan konkuren wajib non-pelayanan dasar. Pada Permenkominfo 8/2019 tersebut lengkap dirinci sub-sub kegiatan apa yang wajib dilaksanakan oleh dinas kominfo di daerah, dan dari 9 (sembilan) sub kegiatan yang tertera, salah satunya adalah Sub Kegiatan Monitoring Media dan Pengelolaan Opini dan Aspirasi Publik.
Selama bertahun-tahun sejak awal 2000-an humas pemerintah menjadikan aktivitas mengkliping yakni membaca semua media massa cetak, menandai berita-berita yang harus dikumpulkan, menggunting, menempel, merekap, memilih pemberitaan yang berpotensi negatif dan butuh klarifikasi, lalu menyampaikannya ke dinas-dinas terkait selanjutnya membantu proses penulisan klarifikasi atau jika dibutuhkan hak jawab dan mengirimkannya ke media massa yang memuatnya adalah kegiatan rutin yang dengan tekun dilakukan tanpa ada secuilpun campur tangan pihak ke-3 (tiga) apalagi menyerahkan sepenuhnya dengan mengaloksikan sejumlah anggaran tertentu.
Lalu pada sekitar Tahun 2017, bermunculanlah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa monitoring media yang seolah tahu betapa selama ini pemerintah melakukan aktivitas itu secara manual dan merepotkan. Saat itu saya sambut kahadiran mereka dengan mata berbinar-binar. Tak perlu lagi repot baca berita, menggunting dan menempelnya karena mereka lakukan semua itu lengkap dan dalam bentuk digital. Rasanya tak perlu lagi berlanggaran koran banyak-banyak dan tak perlu lagi sediakan lem berlebihan untuk kepentingan menempel. Â
Melihat kebutuhan kita akan analisa pemberitaan, trend positif/negative serta seiring berkembangnya media online dan media sosial maka perusahaan tersebut menambah varian layanannya bahkan analisa harian dan saran tindak lanjut mereka sanggup kerjakan. Sudah kurang mudah apa lagi bagi humas pemerintah?. Saat itu yang kami lakukan hanya memastikan analisa dan saran yang mereka tawarkan sesuai/tidak dan selanjutnya kami juga yang tentukan apakah saran dan analisa tersebut akan digunakan atau tidak.
Begitupun rekap percakapan netizen di media sosial terkait pemerintah, bisa kami dapat setiap hari tanpa absen lengkap dengan analisanya sehingga kami bisa lakukan langkah-langkah untuk menyikapinya, terutama saat ada opini yang berpotensi pada krisis komunikasi. Tantangan terbesarnya bukan lagi pada proses memonitor, tapi pada penerimaan pimpinan atas hasil monitoring media tersebut.
Rupanya tidak semua pimpinan memahami pentingnya memonitor opini publik di media massa. Bahkan  tak sedikit juga yang meyakini bahwa opini dan keluhan masyarakat tidak usah terlalu serius disikapi apalagi dengan cara-cara formal semisal mengirimkan klarifikasi atas pemberitaan tersebut.
Mereka lebih senang selesaikan hal-hal demikian, -misal ada satu media yang memberitakan hal yang dirasa mengganggu terkait kinerja dinas tertentu- dengan cara mengundang wartawan atau pentolan media tersebut, ngobrol-ngobrol, dan selesai dengan kesepakatan-kesepakan tertentu yang tak pernah kita tahu. Yang pasti, setelah 'pertemuan' tersebut sang wartawan akan rajin menyambangi ruang pimpinan dan pulang dengan wajah berseri-seri. Dan tentu saja pemberitaan buruk di medianya (sementara) tak muncul lagi
Bagi pegawai yang memahami core business humas, kegelisahan akan bertambah saat terjadi pergantian vendor yang tidak dapat menyediakan layanan selengkap, seakurat, setepat waktu, dan seefisien vendor lama. Hal ini diperparah dengan para pegawai di bidang tersebut yang sudah lama meninggalkan praktik memonitoring media secara manual sehingga terlalu nyaman dengan  menyerahkan semua tugas wajibnya pada vendor. Maka bubarlah segala output yang selama ini bisa kita dapat dari vendor sebelumnya.
Ini jua lah yang menjadi penyebab tidak terdeteksi secara dininya pemberitaan kajian Amdal di dinas seperti pada cerita di awal.