Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Lainnya - Communicating Life

pelayan masyarakat selama lebih dari 20 tahun and keep counting, belajar ilmu komunikasi sejak lahir.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masih Perlukah Pemerintah 'Beriklan' di Media Massa Cetak?

27 Mei 2024   14:50 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:01 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publikasi Reuters Institute bertajuk 2022 Digital News Report menyatakan  bahwa hanya 17 persen masyarakat Indonesia yang menjadikan media cetak sebagai sumber informasinya, turun 3 persen dari tahun sebelumnya. Media cetak ada di peringkat terbawah dibandingkan sumber lainnya yakni media daring (online), media sosial, dan televisi. 

Perusahaan Informasi dan Pengukuran Global Nielsen Indonesia seperti yang dimuat dalam: Nielsen: Pembaca Media Digital Sudah Lampaui Media Cetak - Katadata.co.id menyatakan bahwa di Indonesia, saat ini pembaca media digital sudah lebih banyak ketimbang media cetak. Jumlah pembeli koran terus merosot dalam empat tahun terakhir karena masyarakat beranggapan bahwa informasi seharusnya bisa didapat secara gratis.

Anggapan bahwa media harus gratis mengerek tingkat penetrasi media digital hingga 11% dengan jumlah pembaca 6 juta orang pada tahun 2017. Jauh lebih banyak dibanding pembaca media cetak sebanyak 4,5 juta orang.

Selain itu, media cetak hanya menjadi pilihan kelima masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan penetrasi sebesar 8%. Sementara, urutan pertama ditempati televisi dengan 96%, kemudian diikuti papan iklan di jalanan 52%, penggunaan internet sebesar 43%, dan radio sebanyak 37%.

Survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyatakan, kebiasaan membaca orang Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%. Masyarakat cenderung membaca koran di kantor, sekolah, dan perpustakaan, sehingga tak perlu mengeluarkan biaya.

Masyarakat yang membaca media cetak didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%. Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya.

Membaca fakta-fakta tersebut, maka pertanyaan yang mengemuka adalah, apakah masih relevan jika kalangan pemerintah membelanjakan anggaran diseminasi informasinya untuk membeli kolom di media massa cetak?.

Seperti yang kita pahami, pemerintah berkewajiban menyampaikan informasi yang mencerdaskan dan memublikasikan hasil-hasil pembangunan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk itu dibutuhkan media yang dapat menyampaikan hal-hal tersebut secara serentak dengan jangkauan yang luas.

Sebagai informasi, harga untuk space halaman di koran lokal dibutuhkan anggaran senilai Rp.10-15 Juta/tayang/media cetak. Sementara untuk membuat video kreatif untuk ditayangkan di media sosial praktis tidak membutuhkan anggaran banyak padahal efeknya jauh lebih besar jika pesan disampaikan secara audio visual melalui media sosial.

Produsen media cetak juga berkurang sebesar 23%. Nielsen mencatat ada 268 media cetak pada 2013, namun merosot tajam menjadi hanya 192 media pada 2017. Namun, angka itu dipengaruhi oleh penurunan jumlah produsen tabloid dan majalah yang berkurang sebanyak 92 unit, hanya 2 produk koran yang menyatakan gulung tikar.

Advertorial dari kalangan pemerintah yang dimuat dalam media cetak seringkali hanya memuat rilis berita sehingga terkesan menjadi kolom berita yang dibayar dan tentu saja bertentangan dengan tujuan penyebarluasan informasi yang dikehendaki pemerintah yaitu merubah perilaku masyarakat.

Selain itu, tak mudah untuk menghitung seberapa jauh jangkauan dan seberapa puas  terhadap informasi tersebut sehingga tak mudah juga untuk menghitung seberapa besar mereka memiliki kehendak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses pembangunan.

Kenyataan tersebut rupanya tak sanggup membuat Pemerintah Provinsi Banten dalam hal ini Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian (Diskominfo SP) bergeming. Sesuai kewenangannya, dalam melaksanakan tugas komunikasi dan informasi publik Diskominfo SP selama ini mengalokasikan anggaran kerjasama dengan media cetak jauh lebih besar dibanding alokasi anggaran untuk 10 (sepuluh) sub kegiatan lainnya.

Diskominfo SP yang sesungguhnya telah menentukan tema-tema informasi yang harus didiseminasikan kepada masyarakat, seringkali 'mengalah' pada tuntutan asal surat pertanggunjawaban (SPJ) selesai dan asal penyerapan dapat sesuai jadwal.

Hal ini tentu saja merisaukan karena sejumlah anggaran yang dialokasikan tidak berdampak apa-apa bagi perubahan sikap masyarakat.

Untuk itu perlu kebijakan tegas terkait pembagian alokasi anggaran untuk publikasi informasi pemerintahan ini khusunya pada penggunaan platform media sehubungan adanya target dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bappenas, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang tertuang dalam kesepakatan pada Rapat Koordinasi Teknis Pembangunan (Rakortekbang) yang menyepakati target 80% masyarakat Banten terpapar informasi sesuai Strategi kKomunikasi dan 80%nya puas atas informasi yang disajikan.

Perlu juga kiranya membentuk tim khusus yang mengelola konten dan media, serta memperbanyak alokasi anggaran untuk peningkatan kapasitas  pengelola konten informasi.

Selanjutnya, hubungan baik dengan pihak media massa cetak sesungguhnya dapat dijalin dengan cara lain semisal media visit, media gathering, coffee morning, lomba menulis/lomba foto dan sebagainya.

Pemerintah harus segera mengoptimalkan pengelolaan pemanfaatan media sosial dan media elektronik lainnya termasuk merangkul influencer untuk membantu mengorkestrasi pesan-pesan yang ingin disampaikan.

Tujuan awal pemerintah memberikan sejumlah besar uang kepada perusahaan media massa  untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi, namun justru malah tidak berdampak pada masyarakat itu sendiri adalah sebuah ketidakpatutan.

Bagaimanapun, masyarakat berhak atas informasi dan kewajiban pemerintah adalah melakukan berbagai cara agar informasi tersebut sampai ke masyarakat. Masyarakat digital harus diimbangi pula dengan pemerintah digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun