Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Lainnya - Communicating Life

pelayan masyarakat selama lebih dari 20 tahun and keep counting, belajar ilmu komunikasi sejak lahir.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Panggung Itu Bukan untuk Mereka: Catatan untuk PNS Silent Majority

20 Maret 2024   12:39 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:39 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah 8 (delapan) tahun jadi staf, maka pada Tahun 2009 saya diamanahi menjadi pejabat tingkat terendah. Selazimnya 'pejabat' maka saya memiliki staf. Staf pertama saya adalah sekelompok 'anak magang' yang pastinya bukan ASN. Jumlahnya belasan dan berasal dari berbagai latar belakang keluarga atau kerabat seseorang. Namun ada 3 (tiga) terselip yang merupakan mantan mahasiswi saya yang kemudian saya menjadi sangat tergantung pada mereka bertiga karena saya nilai hanya mereka yang sanggup menerjemahkan dan mewujudkan instruksi saya.

Sempat berpindah hingga 6 (enam) kantor maka sebanyak itu pula keluarga saya di dunia kerja. Berbagai model staf melingkupi hari-hari kerja saya selama lebih dari 20 (dua puluh) tahun menjadi PNS dan tantangan terbesar saya temui di tahun ke-12 menjadi pejabat rendahan.

Saat itu, belum sehari saya masuk kantor baru,kalau tidak salah kantor ke-5 sejak jadi pejabat, salah seorang staf sambil berbisik menyampaikan informasi penting tentang salah seorang staf saya  yang menurutnya masuk kategori 'problematik'.

Maka sejak hari pertama masuk kerja tersebut, saya lebih disibukkan mengurusi si staf problematik tersebut. Melakukan seluruh proses yang dipersyaratkan sebagai mana tata cara penanganan disiplin pegawai di pemerintahan saya lakukan terseok-seok mengingat saya harus mempelajari hal baru yang selama ini belum pernah saya lakoni, ditambah bidang kerja saya di kantor ke-5 ini sungguh di luar pekerjaan saya sebelumnya.

Bayangkan, saya harus mempelajari Undang-undang Kepegawaian plus segala aturan perundangan tentang keuangan daerah. Benar-benar hal yang kalau boleh memilih maka saya akan tegas tidak memilihnya

Setelah di tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada tindakan kepegawaian resmi apapun terhadap staf yang satu itu, maka di era saya lah kemudian ini dilakukan. Mudah?, tentu saja tidak!. Bagaimana bisa mudah jika saya harus langsung 'membina' orang yang bahkan tidak pernah saya kenal sebelumnya.

Saya teringat saat dia datang untuk pertamakalinya setelah katanya berbulan-bulan dia tak pernah hadir di kantor. Berhadap-hadapan di ruangan kerja saya, itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir saya dengannya. Dia bercerita kisah hidupnya, mencoba mencari alasan atas semua kelakuannya menggelapkan uang milik banyak orang di kantor dan di luar kantor, menyampaikan upaya apa yang saat ini tengah dilakukannya untuk membayar semua utang yang hingga milyaran itu, sambil terakhir dia seolah minta permakluman jika dia tidak pernah hadir di kantor untuk bekerja.

Sebuah keuntungan saya tidak pernah mengenalnya, sehingga saya dengan mudah sodorkan berita acara hasil pemeriksaan untuk dia tandatangani sebagai tanda saya telah laksanakan tugas sebagai atasan langsungnya. Hari berlalu, dia tak kunjung hadir di kantor untuk bekerja. Surat Peringatan (SP) 1 (satu) hingga 3 (tiga)  telah dilayangkan, tentu saja diawali dengan panggilan-panggilan pemeriksaan yang tidak pernah digubris, atau jikapun digubris dia sampaikan berbagai alasan untuk mangkir. Proses bergulir hingga ke Badan Kepegawaian, hingga akhirnya, seminggu setelah saya kemudian dimutasi ke kantor berikutnya, surat pemecatan dirinya keluar.

Di kantor ke-6 ini, saya temukan lagi staf semacam itu. Bersyukur saya telah punya pengalaman mengurus pengadministrasian ini itunya sehingga untuk yang satu ini saya relatif lebih lancar walaupun kali ini berakhir di jeruji besi. "Pembinaan" yang saya lakukan sama sekali tidak terkait dengan tindak pidana yang dia lakukan. Modusnya kurang lebih dia menjadi makelar atas proyek pekerjaan yang tak pernah ada sehingga beberapa perusahaan dirugikan miliaran rupiah.

Beberapa bulan belakangan muncul kabar, oknum PNS ditengarai menipu banyak orang senilai miliaran rupiah dengan iming-iming diangkat  menjadi calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Saya sedikit tertegun saat membaca inisial terduga pelaku. Ingatan melayang ke kantor ke-3, saat itu salah seorang staf perempuan saya yang tangguh, cekatan, cerdas, dan galak itu punya suami (sekarang sudah bercerai) yang juga PNS dengan inisial yang sama dengan yang tercatat di berita-berita. Benarkah yang sedang dicari-cari ini mantan suami dia?, saya bertanya-tanya dalam hati, tak sanggup juga untuk bertanya langsung biarpun hingga saat ini kami masih sering ngobrol.

Hingga akhirnya semua terkonfirmasi saat tak sengaja kami bertemu, dan dia membenarkan semua pertanyaan saya. Kabarnya, mantan suaminya sudah pada tahap direkomendasikan ke BKN untuk dipecat dari status PNSnya.

Tahukah apa moral dari semua itu?. Bahwa dunia tidak sebaik yang kita pikir, bahwa kita tak bisa mengukur sesuatu memakai ukuran diri sendiri, dan bahwa saat ini 'nilai' sudah makin tak dikenal. Apakah ini mengonfirmasi pandangan masyarakat bahwa PNS hanya bisa korupsi?. Tentu saja tidak. Hanya yang 'tidak' ini memang lebih senang tidak bersuara dan menghindari lampu sorot. Sungguh, 'panggung' bukan untuk mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun