"Saya belum tahu pasti, teknik survei dan data yang digunakan oleh DCI. Tapi jika hasilnya demikian, maka saya berasumsi ada tiga faktor yang memengaruhi," kata Endang seperti dilansie Kompas.com, Jumat (26/2/2021).Â
Menurut Endang, tak bisa dipungkiri penggunaan media sosial meningkat selama pandemi, termasuk di Indonesia.Â
Dalam data DCI disebutkan, hoax, penipuan, dan ujaran kebencian yang mengalami kenaikan 5-13%, kemungkinan terkait dengan beredarnya berita-berita seputar Covid-19, yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawaban kredibilitasnya dan kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada berbagai hal.
Faktor pertama adalah ketidakpastian. Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.
 "Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apapun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang," jelasnya.
Faktor kedua yang disebut Endang adalah, kesulitan ekonomi selama pandemi, yang menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Menurutnya, sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain.Â
"Dari yang saya amati, banyak penipuan yang menggunakan alasan kesusahan, sementara di sisi lain, orang Indonesia terkenal dermawan. Salah satunya berdasarkan CAF World Giving Index," ujar doktor lulusan Psikologi Universitas Indonesia ini.
"Banyak orang segera mewujudkan keinginan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan bantuan, tanpa menyadari adanya kemungkinan penipuan," lanjutnya.
Sedangkan faktor ketiga adalah rasa frustasi. Dituturkan Endang, ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi.Â
Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi, "Harus ada yang disalahkan". Dan siapa saja bisa menjadi sasaran.Â
"Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk membully pihak lain.