Namun demikian diakui oleh Tenaga Ahli Bidang Maritim Kemenhub itu, masih ada permasalahan-permasalahan yaitu aspek regulasi yang belum bersinergi, tingkat keselamatan yang masih rendah, belum terpadunya dengan moda transportasi lain; kondisi sarana dan prasarana kurang memenuhi standar kelayakan; SDM yang berkompeten di bidang angkutan perairan belum memadai, serta penyediaan informasi dan peringatan dini terkait dengan cuaca masih minim. "Padahal keselamatan merupakan tanggung jawab kita bersama," kata Peni Pudji Turyanti.
Di tempat sama, Renhard Ronald menyatakan bahwa untuk mengatasi membludaknya jumlah penumpang pada moda transportasi penyeberangan bisa dilakukan dengan cara e-tiketing. Jadi ketika tiket kapal penyeberangan sudah terbeli habis, maka tidak ada lagi penumpang yang bisa naik ke kapal. Hal seperti itu sudah dilakukan pada angkutan kereta api dan pesawat terbang. Dengan demikian, ketika sistem e-tiketing itu sudah diberlakukan pada transportasi penyeberangan; maka tidak akan terjadi lagi over capacity.
Ia menyatakan pembenahan-pembenahan pada transportasi penyeberangan terus dilakukan, sehingga tidak ada lagi operator yang memberangkatkan kapalnya tanpa mengantongi Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Untuk memperoleh SPB tersebut, maka kapal harus dalam kondisi laik laut. Laik laut itu akan terlihat setelah dilakukan ramp check setiap hari.  "Sekarang tidak ada operator yang berani  berangkat tanpa  SPB," ujarnya.
Dari hasil paparan-paparan yang dilanjutkan diskusi, dapat disimpulkan bahwa pemerintah harus menyiapkan angkutan penyeberangan yang laik laut. Selain itu harus dijaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan. Â Diakui hingga saat ini regulasi yang ada belum sinergi, SDM belum memadai, tingkat keselamatan masih rendah, minim peringatan dini, masyarakat marah jika tidak diperbolehkan naik ke kapal, dan Bakamla merupakan Coast Guard Indonesia. (*)