Pada era yang terus berkembang dan berubah, praktik perekrutan karyawan masih menjadi sorotan saat beberapa perusahaan masih menerapkan batasan usia sebagai salah satu kriteria dalam proses seleksinya. Fenomena ini masih menimbulkan pertanyaan kritis tentang keadilan dan keberlanjutan dalam dunia kerja.Â
Artikel ini akan menjelajahi realitas perusahaan-perusahaan yang masih mengandalkan batasan usia dalam proses perekrutan karyawannya, sekaligus mengupas dampaknya terhadap dinamika lingkungan kerja dan keberagaman tenaga kerja.Â
Pengangguran terbuka adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.Â
Menurut Sukimo (2011), pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh segolongan tenaga kerja yang berusaha mencari pekerjaan tetapi tidak memperolehnya.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Barat pada tahun 2022 masih menjadi yang tertinggi di Indonesia yaitu 8,31% dengan lima daerah pencari kerja terbanyak adalah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang dengan jumlah rata-rata pencari kerja sebanyak 14.422 orang.
Persentase ketersediaan lowongan kerja di Jawa Barat hanya sebesar 43%, hal ini menunjukkan 57% pencari kerja belum pendapatkan pekerjaan. (Sumber: Opendatajabar)
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingginya Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) salah satunya adalah ketidakcocokan kualifikasi yaitu kesenjangan antara kualifikasi yang dimiliki oleh pelamar dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Salah satunya masih adanya kualifikasi pembatasan usia, hal ini disebabkan karena perusahaan menganggap usia sebagai faktor penentu kemampuan atau adaptabilitas seseorang.
Contoh ketika seorang pelamar berusia 30 tahun namun masih memiliki kondisi yang baik untuk bekerja serta memiliki pengalaman kerja yang luas dan keterampilan yang sangat relevan dengan posisi yang dilamar, tetapi perusahaan menolaknya dengan asumsi bahwa mereka mungkin kurang dapat beradaptasi dengan teknologi baru atau berada di lingkungan kerja yang dinamis.Â
 Dalam hal ini stereotip perekrut dapat mempengaruhi kualitas proses perekrutan. Setidaknya perekrut perlu mempertimbangkan  beberapa faktor yang dapat meningkatkan kualitas perusahaan seperti :
Perlu adanya keberagaman dan inklusivitas, dimana perekrut dapat memiliki tim yang terdiri dari individu dengan latar belakang dan karakteristik yang beragam, termasuk usia. Hal ini dianggap dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif. Â Menurut penelitian McKinsey, perusahaan dengan keberagaman gender yang tinggi memiliki peluang 21% lebih besar untuk mengungguli perusahaan pesaing, dan perusahaan dengan keberagaman etnis memiliki peluang 33% lebih besar untuk mengungguli perusahaan pesaing. Dengan adanya keberagaman, perektut dapat meningkatkan kinerja dan kompetitivitas dalam perusahaannya.Â
Pentingnya melihat keterampilan dan kompetensi yang relevan dengan yang dibutuhkan, perekrut dapat menekankan pada keterampilan,pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki pelamar termasuk kemampuan teknis dan "soft  skills" seperti kepemimpinan, komunikasi, dan kerja tim. Menggunakan penilaian yang objektif terkait kualifikasi dan kecocokan budaya dapat lebih relevan daripada fokus pada angka usia.