Faktor yang menyebabkan perempuan memilih satpam sebagai profesi karena adanya kesempatan dan peluang yang besar untuk bekerja sebagai satpam. Kesempatan tersebut ditunjukkan dengan dibukanya pendidikan dasar bagi perempuan yang ingin menjadi satpam. Karena banyaknya permintaan akan satpam perempuan oleh perusahaan maupun perkantoran, memberikan peluang yang besar kepada satpam perempuan untuk segera dipekerjakan di perusahaan maupun perkantoran yang membutuhkan jasa satpam perempuan. Bagi informan yang memiliki jiwa maskulin ( tomboy ), profesi satpam dirasa cocok dengan kepribadiannya yang memang menyukai kegiatan-kegiatan yang sifatnya maskulin. Keberadaan satpam perempuan akan membentuk citra baru bagi perempuan, karena anggapan masyarakat selama ini akan profesi satpam yang lekat dengan citra maskulin dan perempuan yang identik dengan stereotipe feminim dianggap kurang pantas untuk profesi satpam. Namun bila melihat dengan semakin meningkatnya permintaan akan satpam perempuan menunjukkan bahwa perempuan layak untuk menyandang profesi ini. Pencitraan satpam perempuan sebagai sosok yang ramah namun tetap tegas dan disiplin serta professional dalam mengerjakan tugas dan menjalankan peranannya terbentuk dari bagaimana satpam perempuan berinteraksi dengan lingkungan kerja baik internal maupun eksternal dan interaksi dengan satpam laki- laki sebagai mitra kerja.
Pada masa kanak-kanak kita biasanya akan mendapatkan pertanyaan mengenai cita-cita yang diinginkan. Kebanyakan dari kita sering kali menunjuk kepada suatu pekerjaan seperti ingin menjadi dokter, presiden, guru, pramugari, polisi, tentara, dan lainnya. Jarang sekali atau mungkin hampir tidak satu pun dari kita yang mengatakan "saya ingin menjadi seorang satuan pengamanan (satpam)." Beberapa pengakuan satpam perempuan tentang cita-citanya yang ingin menjadi Polisi atau Tentara wanita tetapi gagal dan memutuskan menjadi satpam banyak dimuat dalam berita. Salah satunya diberitakan oleh media berita online (jurnalsecurity, 2017), tentang perempuan bernama Dewi yang sebenarnya memiliki cita-cita ingin menjadi tentara angkatan darat, namun karena beberapa sebab keinginan itu kandas di tengah jalan. Sebagai gantinya ia bekerja menjadi seorang security (satpam). Masih banyak dari kita beranggapan bahwa satpam adalah pekerjaan laki-laki sehingga terdengar awam jika perempuan bekerja menjadi satpam. Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan mungkin akan mengambil karir yang kiranya dapat dijalaninya tanpa banyak hambatan di kemudian hari seperti menjadi sekertaris, dokter anak, psikolog anak, guru atau dosen, penunggu atau penjaga toko, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa cenderung akan memilih pekerjaan sesuai dengan dirinya seperti menjadi tentara, polisi, hakim, jaksa dan lain sebagainya. Pada saat ini sudah banyak perusahaan dan lembaga pendidikan yang memperkerjakan satpam perempuan. Peneliti sering menjumpai perempuan yang bekerja menjadi satpam di mall, rumah sakit, asrama putri, dan pengawasan di lingkungan pendidikan seperti kampus. Pengalaman peneliti ketika bekerja di perusahaan retail membuktikan bahwa terdapat satpam perempuan yang bekerja disana. Penulis menjumpai tiga satpam perempuan bertugas di perusahaan tersebut. Perempuan dibutuhkan untuk melaksanakan penggeledahan terhadap para wanita dan mengumpulkan informasi yang akurat, dan mungkin dapat mengambil pendekatan yang berbeda dalam pengidentitasan resiko terhadap keamanan (Bernes & Albrecht, 2008).
Keterkaitan Isu Gender Dengan diskriminasi
Banyak dari kaum Adam atau laki-laki yang menganggap dirinya dapat melakukan semua hal tidak terkecuali melakukan hal yang seharusnya wanita lakukan namun mereka justru meremehkan jika wanita melakukan apa yang laki-laki kerjakan. Hal ini biasa disebut dengan diskriminasi, yang mana berarti membedakan, melecehkan, atau mengucilkan secara langsung ataupun tak langsung yang didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik dan aspek kehidupan sosial lainnya. Di kasus ini kaum wanita lah yang merasa dirugikan, yang mana mereka tidak bisa melakukan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Sedangkan, jika kaum wanita hanya melakukan apa yang selama ini mereka lakukan saja (menjadi ibu rumah tangga) maka mereka tidak dapat bereksplorasi dengan apa yang ada di bumi ini. Mereka hanya terkekang dengan kewajiban mereka saja namun tidak bisa menuntut hak-hak nya. Dengan begitu, kaum lelaki akan merasa begitu hebat dibandingkan dengan kaum wanita. Tidak mudah bagi wanita untuk berpartisipasi dalam dunia pekerjaan dikarenakan ada beberapa tantangan-tantangan yang harus mereka hadapi.
Perempuan yang bekerja menjadi satpam akan menghadapi tantangan-tantangan seperti adanya pandangan masyarakat akan pekerjaan satpam yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Selain itu sering kali para perempuan yang bekerja diluar rumah juga harus mengerjakan pekerjaan domestik karena itu mereka perlu menanggung peran ganda. Dalam peran ganda ini mereka juga harus bisa membagi waktu dan tenaga dalam menjalankannya. Karena itu bisa diasumsikan bahwa para perempuan ini memiliki banyak beban dan tantangan terkait dengan pandangan negatif maupun beban kerja yang diembannya.
KESIMPULAN
Untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti kekerasan, perdagangan dan perbudakan seks terhadap wanita, pertama, perlunya dilakukan pemberdayaan wanita dalam segala aspek kehidupan, seperti diadakannya pelatihan oleh Lembaga-Lembaga yang berwenang. Dalam hal pekerjaan pun, perempuan juga harus dibekali oleh keterampilan dan pengetahuan yang luas agar dapat bersaing di dunia kerja. Kedua, harus mengubah pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan merupakan pihak minoritas, seperti penghapusan pandangan bahwa perempuan hanya dapat menghasilkan anak dan hanya bisa mengurusi pekerjaan rumah tangga. Padahal, seorang perempuan juga dapat melakukan aktivitas yang tentunya lebih bermanfaat bagi dirinya bahkan bagi orang lain. Perempuan juga bisa memperjuangkan mimpi dan karirnya agar dapat mencapai kesetaraan gender. Ketiga, mengikutsertakan perempuan dalam hal mengambilan keputusan. Apabila perempuan diikutsertakan dalam posisi tersebut, mereka akan mulai percaya diri dan merasa mampu untuk menyuarakan hak-haknya agar tidak tertindas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan agar perempuan mendapatkan kebebasan dalam mengambil keputusan.
REFERENSI
Jurnal
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/25596/23465
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/22295/21580