Mohon tunggu...
M Ijlal Rafi
M Ijlal Rafi Mohon Tunggu... Lainnya - Sociological Imagination

Jakarta State Islamic University

Selanjutnya

Tutup

Life Hack

Tolak RUU KUHP

28 Juni 2020   06:20 Diperbarui: 3 Juni 2022   19:34 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Political Opportunity (Struktur Kesempatan Politik) merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur politik dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial [1]. Pendekatan SKP menuai banyak kritik, salah satunya adalah teori new social movements atau gerakan temporer, dimana gerakan ini berorientasi pada permasalahan seperti rasisme, gender, feminisme, lingkungan. Dan tidak tertarik pada gagasan-gagasan isu revolusi. Gerakan sosial yang terjadi tergantung pada keadaan Struktur Kesempatan Politik (SKP) itu sendiri dan dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi struktur politik. Dalam hal ini, SKP menjadi ruang multidimensi yang gerakan sosial dan tindakannya bisa saja dimudahkan (facilitated) atau bisa saja direpresi (dihambat), sehingga tak bisa berkembang (repressed).

Pada Senin, 23 September 2019 ribuan mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di beberapa daerah seperti Makassar, Sulawesi Selatan, Bandung, Cirebon, Malang, Jawa Timur, Yogyakarta dan beberapa daerah lain. Semua aksi di daerah tersebut ditujukan untuk menolak pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sumber Daya Air dan beberapa perundang-undangan lainnya. Gerakan sosial ini memiliki mayoritas massa mahasiswa dari berbagai universitas dan dapat terwujud karena struktur politik pemerintah ingin menerapkan pasal-pasal baru yang dianggap kontroversial seperti hukuman penghinaan presiden, hukuman pelaku aborsi, hukuman persetubuhan diluar pernikahan, hukuman kecerobohan memelihara hewan ternak dan hukuman-hukuman lainnya. Kebijakan baru yang telah dicanangkan melalui RUU KUHP dan RUU lainnya akan menciderai prinsip sejati demokrasi yang didamba-dambakan rakyat dan telah membuat kondisi struktur politik menjadi tidak kondusif. Beberapa pasal dari RUU KUHP tersebut dianggap represif dan dapat mengekang kebebasan berpendapat rakyat.

Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori: pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan berkembangnya gerakan sosial; dan sebaliknya, semakin tertutup iklim politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial [1]. Pengesahan RUU KUHP yang ingin dilakukan DPR telah memberikan pola terbuka bagi masyarakat dan mahasiswa untuk mewujudkan gerakan sosial demi membatalkan pengesahan RUU tersebut. Gerakan sosial ini menjadikan negara sebagai target karena ada ketidakpuasan rakyat terhadap perubahan struktur politik

Pendekatan SKP menjelaskan bahwa Negara tidak akan tinggal diam terhadap gerakan sosial yang dilakukan, negara akan merespon atau melawan dengan menggunakan aparat kepolisian atas nama undang-undang yang berisikan menganggu ketertiban masyarakat. Gerakan sosial penolakan RUU KUHP yang berada di daerah Jakarta melancarkan aksinya di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Agar gerakan ini dapat berjalan dengan baik, tentunya negara akan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dengan menggunakan tiga strategi untuk mengontrol gerakan tersebut.

Pertama, persuasive strategy yaitu negara menggunakan cara-cara yang baik atau damai untuk mengendalikan massa gerakan sosial. Pada awalnya gerakan sosial penolakan RUU KUHP yang diikuti oleh ribuan masyarakat sipil maupun mahasiswa berjalan dengan baik, tidak ada kericuhan dan amukan oleh massa aksi. Dalam mengontrol situasi seperti ini, negara mengandalkan aparat gabungan kepolisian dan TNI untuk berjaga-jaga dan mengamankan wilayah Gedung DPR demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kericuhan dan aksi vandalisme. Aparat hanya mengingatkan agar massa aksi tidak anarkis dalam menyampaikan aspirasinya.

Kedua, coercive strategy yaitu negara menggunakan kekerasan untuk mengontrol gerakan sosial yang telah dilakukan akan berjalan dengan tertib. Pada saat sore hari sekitar jam 16.00 gerakan sosial penolakan RUU KUHP mulai merujuk ke arah situasi yang memanas, massa aksi mulai saling dorong dan saling lempar dengan aparat kepolisian. Massa aksi berusaha merusak pagar gedung DPR, mereka bertujuan untuk masuk dan menguasai gedung DPR. Hal ini terjadi karena tuntutan massa tidak terpenuhi dan mendesak bertemu dengan pimpinan DPR untuk menyuarakan aspirasinya terkait dengan RUU KUHP. Situasi yang sudah tidak kondusif seperti ini akan menganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Aparat gabungan kepolisian dan TNI akan menggunakan strategy coercive untuk mengendalikan massa seperti menambakkan air dari kendaraan water canon, cara seperti ini digunakan untuk memukul mundur massa terlebih waktu demonstasi sudah melebihi batas sesuai aturan yang berlaku yaitu pukul 18.00. Jika cara pertama seperti ini belum berhasil, maka aparat akan melakukan tindakan tegas dengan menembakkan gas air mata, cara ini terpaksa dilakukan oleh aparat karena sebagian massa telah melakukan aksi vandalisme

Ketiga, informative strategy yaitu negara mencari informasi-informasi detail mengenai gerakan sosial yang akan dilakukan, sehingga negara dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dalam gerakan sosial. Dalam gerakan sosial penolakan RUU KUHP, tentunya aparat pemerintah akan berusaha untuk memberikan perintah kepada tim intel atau penyelidik untuk mencari informasi mengenai rencana-rencana dari gerakan tersebut. Informasi yang diperoleh akan digunakan aparat untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Aparat juga berusaha mencari provokator dalam gerakan sosial tersebut yang dapat memicu terjadinya situasi yang tidak kondusif.

Penulis: Muhammad Ijlal Rafi

Editor: Muhammad Ijlal Rafi

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun