Moderasi beragama yang saat ini tengah hangat-hangatnya diperbincangkan sejatinya bukanlah hal baru. Semua agama mengklaim, moderasi adalah bagian yang tak terpisahkan dengan ajaran mereka. Kalaupun baru sekarang menjadi perbincangan yang cukup ramai, boleh jadi karena pemerintah telah menjadikannya sebagai salah satu isu krusial.Â
Mungkin juga gegapnya isu ini karena moderasi beragama telah menjadi objek tulisan banyak akademisi, seperti halnya menjamurnya pula tulisan-tulisan soal radikalisme beragama. Singkatnya, moderasi beragama saat ini telah menjadi semacam mantra, dan di hadapannya orang-orang seakan terbius untuk merapalnya.
Moderasi dalam Islam sendiri, seperti yang akan saya ulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini, sesungguhnya tidak hanya menjadi ajaran atau nilai. Tetapi juga menjadi pengalaman historis umat Islam yang merentang panjang dari zaman Nabi Muhammad SAW, ke masa Islam di Nusantara oleh Wali Songo, dan berlanjut hingga era Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah di Indonesia. Â Â
Dalam Islam, ada satu ayat al-Qur'an di luar versi bacaan Mushab Utsmani yang menyatakan: "Inna dina indallahil hanifiyah", agama yang benar di sisi Allah adalah agama hanif (agama yang tunduk-lurus-moderat).[1] Ayat ini dipertegas oleh hadis Nabi SAW; "Inny ursiltu bihanifiyati samha" (HR Ahmad) (Saya diutus membawa agama hanif yang toleran) Â atau teks lain berbunyi Ahabbu al-diini ilaa al-llahi al-hanifiyyatu al-samhah (HR Bukhari), (Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang hanif dan toleran).Â
Teks-teks tadi menjadi salah satu penanda bahwa Islam dan moderasi yang dalam bahasa agama disebut dengan wasathiyah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Istilah wasathiyah sendiri secara eksplisit digunakan dalam al-Qur'an (2:143) pada ayat: "wakazalika jaalnakun umatan wasatan" (Dan demikianlah kami telah menjadikan kalian umat yang moderat).Â
Moderasi dalam Islam selain disebut washatiyah atau washat, juga kadang disebut tawashut. Wasatiyah atau moderasi dalam Islam tidak semata-mata bermakna tengah-tengah, tetapi seperti dikemukakan Fachruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir li Alquranul Karim, wasatiyah atau moderasi Islam juga bermakna keadilan, toleransi dan keseimbangan (Shihab, 2019; Hanafi dkk, 2012).Â
Makna lain dari washatiyah ini adalah umat yang terbaik. Umat terbaik yang dimaksudkan di sini adalah umat yang berada dalam posisi moderat tersebut. Misalnya di antara 'kikir' dan 'boros', yang terbaik adalah yang moderat yaitu 'dermawan'.Â
Dalam hemat saya, Â praktik moderasi Islam yang dijalankan oleh Rasulullah terlebih dahulu dimulai dengan mempraktikkan keadilan di masyarakat Arab. Hal ini ditandai dengan kehadiran Nabi SAW membawa teologi baru yang mengajarkan penyembahan pada Tuhan tidak melalui perantaraan patung. Mengapa dimulai dari sini? Sebab sistem teologi patung inilah yang menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat Arab kala itu.
Teologi yang dibawa Rasulullah SAW pada dasarnya bukan memperkenalkan Tuhan baru. Ia tidak mengenalkan bahwa ada Tuhan yang namanya Allah yang harus disembah, sebab orang Arab pra Islam sendiri pada dasarnya telah mengenal Allah dan menyembah kepadanya (Izutsu, 1993).Â
Yang disasar oleh Rasulullah adalah sistem penyembahan bangsa Arab saat itu dengan perantaraan berhala. Sistem penyembahan inilah yang sarat dengan praktik-praktik penindasan. Melalui patung-patung yang akan disembah, para elite Arab menancapkan dominasi ekonomi dengan memperjual belikan patung-patung tersebut. Perlu digarisbawahi, para pembuat patung ini adalah kelompok kelas menengah-atas kaum Quraisy (Kariem, 1997).Â