Dalam lima tahun terakhir, moderasi beragama menjadi salah satu diskursus yang paling sering diperbincangkan di Indonesia. Tulisan tentang moderasi beragama ini bermunculan bak cendawan di  musim hujan seiring dengan menjamurnya pula tulisan-tulisan tentang radikalisme beragama. Â
Quraish Shihab (2019), misalnya, menulis tentang "Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama", lalu ada pula "Wasathiyyah Islam: Anatomi, Narasi dan Kontestasi Gerakan Islam" yang didedahkan oleh Kholid Syeirazi (2020).  Tentu  masih banyak lagi tulisan yang mengulik moderasi beragama di Indonesia, terutama di berbagai jurnal.
Namun rupanya yang tertarik dengan moderasi ini tidak hanya kalangan akademisi, Â pemerintah pun tidak mau ketinggalan. Â Pemerintah, melalui beberapa kementerian, secara terang-terangan telah mengambil bagian dan terlibat aktif dalam perbincangan mengenai wacana tersebut. Â
Moderasi beragama bahkan telah menjadi rancangan strategis dalam RPJMN 2020-2024. Sementara itu beberapa kementerian telah memasukkan moderasi beragama sebagai bagian dari kebijakan dan rancangan programnya.
Kementerian Agama, misalnya, sejak lahirnya Risalah Jakarta pada 29 Desember 2018, nyaris seluruh programnya memiliki semangat moderasi beragama. Tidak mengherankan jika saat ini di seluruh Satuan Kerja Kementerian Agama terdapat program moderasi beragama baik berupa pelatihan maupun sosialisasi.Â
Saking intensnya negara mengambil bagian dalam moderasi beragama ini sehingga ruang-ruang yang tadinya digarap oleh masyarakat civil, misalnya dialog antara komunitas yang berbeda atau membangun  perjumpaan antara komunitas agama, kini juga mulai dikelola oleh pemerintah.Â
Keterlibatan pemerintah dalam soal keagamaan di Indonesia, sebenarnya bukanlah kasus yang aneh dan bukan pula baru terjadi dalam isu moderasi beragama. Sejak terbentuknya republik ini, agama telah menjadi urusan negara.  Seperti disebutkan  oleh Hefner (2020) agama bukanlah persoalan individu belaka, tetapi juga sudah menjadi persoalan publik. Orang Indonesia, demikian Hefner, menolak pendekatan liberal sekuler terhadap agama.Â
Pendekatan liberal-sekuler dalam melihat agama  seturut dengan Ahmed Kurru (2009) adalah pengasingan secara tegas  agama dari kehidupan masyarakat. Pendekatan semacam itulah yang ditolak oleh mayoritas orang Indonesia yang menganggap bahwa agama adalah barang publik yang vital.  Karena dianggap barang publik yang vital,  maka pemerintah merasa perlu terlibat dalam persoalan agama. Â
Namun keterlibatan pemerintah dalam mengurus agama, seperti kali ini dalam "keseriusannya" menangani isu moderasi beragama, sering kali menyisakan persoalan atau paling tidak ambiguitas. Â
Dalam kasus moderasi beragama, misalnya, pemerintah tampak serius mendorong wacana ini menjadi kebijakan negara, menguatkan pemahaman moderasi beragama Aparat Sipil hingga satuan kerja di tingkat bawah, tetapi sama sekali tidak pernah mengevaluasi kembali berbagai regulasi yang oleh banyak kalangan dianggap justru memicu sikap-sikap intoleransi. Â