Bom tetiba saja meledak di depan Gereja Hati Kudus Yesus Yang Maha Kudus Katedral Makassar. Â Dua orang yang ditengarai sebagai pelaku bom bunuh diri, meledakkan dirinya di depan Gereja tersebut. Kedua pelaku dipastikan tewas dalam ledakan itu.
Perayaan Minggu Palma yang memang sejak pagi berselimut mendung yang murung, seakan bertambah muram dengan peristiwa bom bunuh diri itu. Tentu peristiwa ini tidak boleh melemahkan kebersamaan sebagai warga Makassar dan rakyat Indonesia secara umum, tetapi sekaligus juga menjadi peringatan kesekian kalinya, bahwa para teroris nyata masih ada di tengah-tengah kita.Â
Hal ini membuktikan bahwa terorisme bukanlah konspirasi, sebagaimana dianut para pencinta teori konspirasi. Dan sudah pasti bukan pula sekadar pengalihan isu, seperti diyakini para kaum "nyinyirisme."
Terorisme memang telah menjadi paham yang dianut sekelompok orang (tidak hanya kelompok agama), sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan masalah. Pilihan yang dianggap paling baik dan satu-satunya dalam mengatasi multi-persoalan.
Para penganut terorisme ini, meminjam istilah Gambetta & Hertog (2016), punya karakter simplisme. Karakter yang menyederhanakan penyebab sekaligus penyelesaian masalah yang sejatinya multi-faktor. Mereka memandang penyebab masalah secara tunggal dan sekaligus melihat hanya satu pula jalan keluarnya. Jalan keluar satu-satunya yang dipilih itu adalah kekerasan. Mirip sebuah iklan; apa pun makanannya, minumannya teh botol sosro (eits...tentu iklan ini jauh lebih baik karena hanya mengajak minum, bukan bunuh diri).
Para sarjana, peneliti dan pengamat telah melakukan riset dan kajian untuk memahami faktor munculnya terorisme ini, khususnya terorisme klan-klan kecil, tetapi semua penjelasan rupanya tidak tunggal. Beberapa penjelasan pun, sering kali juga bertolak belakang dengan fakta-fakta tertentu.
Wiktorowicz (2004), misalnya, menyebut daftar penyebab terorisme antara lain: malaise ekonomi, kegagalan modernisasi sekuler, mobilitas sosial tertutup, kekalahan Arab oleh Israil pada 1967, dan alienasi politik. Kemiskinan juga kerap kali disebut-sebut sebagai penyebab.
Namun, sering kali penyebab itu tidak tepat jika ditarik pada horizon yang lebih luas. Kemiskinan dan pengangguran mungkin di beberapa kasus terlihat berkolerasi dengan terorisme. Tetapi bagaimana misalnya menjawab kasus Abdul Subhan Qureshi, seseorang teroris yang menyerang dan meledakkan kereta api di Mumbai pada 11 Juli 2006? Dia adalah anak muda kaya, pemegang proyek Wipro sejak 1999. Â Atau Abdulmuttalab, bomber 'celana dalam', Â yang berasal dari keluarga kaya Al-hajj Umaru Mutallab.Â
Karena itulah Kruegar menyatakan, jika pun kemiskinan atau pengangguran menjadi bagian dari penyebab terorisme, maka bukanlah penyebab pertama dan utama. Faktor ini baru muncul pada generasi kedua dan hanya menjadi pemicu untuk semakin terlibat secara dalam di ideologi terorisme tersebut.Â
Tentu saja seluruh daftar penyebab itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal itu dapat membantu untuk memahami postur dari masing-masing gerakan terorisme tersebut  sambil sekaligus melihat peta sosial gerakan terorisme di tiap teritori dan memahami konteks masing-masing.
Teologi Marah
Terorisme di Indonesia sejauh ini, menurut berbagai riset atau pun tulisan, sering kali dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, seperti ISIS, al-Qaeda, Abu Sayyaf dan Taliba atau pecahan-pecahannya yang lain. Tetapi juga ada jaringan terorisme lokal, yang merupakan warisan dari Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam beberapa hal jaringan terorisme internasional maupun lokal ini ketemu, meskipun juga tak jarang bergerak sendiri-sendiri.
Proses globalisasi yang memudahkan pergerakan dan perpindahan (shifting & movement) memudahkan ideologi terorisme global masuk ke Indonesia. Di sisi yang lain, di Indonesia sendiri telah memiliki kelompok-kelompok ekstremis warisan masa lalu. Keduanya ini beririsan, khususnya dalam ideologi membentuk Negara Islam Indonesia dan menentang segala bentuk negara di luar Negara Islam.
Untuk mewujudkan tegaknya ideologi mereka, jalur yang ditempuh  kelompok ini bukan melalui perdebatan di parlemen, tetapi mengambil jalan pintas yang disebutnya dengan jihad. Tentu saja jihad yang dimaksud adalah jihad ala mereka sendiri yang identik dengan kekerasan, bom bunuh diri, dan peperangan.Â
Salah satu rujukan jihad kelompok-kelompok teroris tersebut adalah buku kecil Muhammad Abd al-Salam Faraj, komandan Islamis al-Jihad. Buku kecil ini berjudul "al-Faridah al-Ghaibah" (Kewajiban yang Terabaikan). Di Barat buku kecil ini dikenal dengan judul "The Neglected Duty". Faraj dengan tegas menyebutkan: "Abandoning Jihad is the cause of the humiliation and division in which Muslims live today."
Dalam buku ini Faraj menempatkan jihad sebagai kewajiban yang sama posisinya dengan kewajiban puasa dan salat. Faraj juga menolak pandangan ulama yang memaknai jihad sudah terpenuhi jika seseorang melakukan dakwah. Baginya jihad hanya terjadi jika kita memerangi dengan senjata semua kalangan yang dianggap musuh Islam. Karena itu, ayat 5 dari surah al-Taubah, dimaknai Faraj dalam arti tekstualnya: "...bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka..." Demikian pula ia gemar mengutip hadis Nabi, yang disebutnya hadis pedang: "Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang untuk memastikan hanya Allahlah yang disembah dan tidak disekutukan."
Syafii Maarif pernah memberikan istilah bagi para kaum terorisme ini dengan sebutan penganut teologi maut. Saya sendiri cenderung menyebutnya penganut teologi marah. Teologi semacam itu terdapat pada semua agama. Dalam Islam sendiri teologi itu telah ada sejak beberapa abad yang silam. Teologi ini dianut, salah satunya, oleh aliran Khawarij.
Penganut teologi ini, tidak hanya memaknai jihad sebagai jalan perang, tetapi juga melihat di luar kelompok mereka sebagai musuh yang perlu dienyahkan. Istilah kafir, sesat atau musyrik dengan gampang dilekatkan bagi kelompok yang berbeda dengan mereka. Istilah itu sebagai pembeda yang tegas, sekaligus memberi kemungkinan untuk memerangi yang lain. Hingga hari ini, sebagaimana temuan Gambetta & Hertog (2016), karakter in-group dan out-group masih menjadi ciri-ciri kelompok terorisme. Mereka  dengan sangat tegas menajamkan perbedaan antara 'minna' (in-group)  dan 'minkum' (out-group).Â
Teologi marah inilah yang menjadi sarana untuk memupuk ideologi mereka. Pembunuhan dan pengeboman dianggap sebagai jalan Tuhan. Kekerasan adalah iman. Kemarahan merupakan jalan menuju surga. Â Lengkaplah sudah sebuah kegilaan yang mengatas-namakan agama.
Tidak perlu diperdebatkan lagi, sejatinya teologi semacam ini tidak mencerminkan agama apa pun. Dalam Islam teologi semacam ini tertolak. Perlu digaris bawahi: "tertolak" bukan "ditolak". Artinya Islam dengan sendirinya sebagai agama Rahmatan lil alamin, tidak bisa bersanding dengan teologi semacam itu. Jagankan orang Islam, yang non Islam pun paham akan hal itu. Devin R. Springer (2008) dalam "Islamic Radicalism and Global Jihad", secara tegas menyatakan tidak ada bukti yang kuat, bahwa ajaran Islam bisa membuat umatnya menjadi pemarah apalagi melakukan pembunuhan dan teror atas nama jihad. Â
Teologi semacam ini muncul dari pemahaman keagamaanS yang tidak tepat. Syafii Maarif menyebut dengan istilah 'Misguided Arabism' (Pemahaman Arab yang silap). Pemahaman yang tidak tepat, tetapi karena terus menerus ditebarkan baik secara sadar maupun tidak sadar, akhirnya membentuk satu kelompok yang memiliki kecenderungan semacam itu.
Last but not least, seperti kata orang bijak, dari pada  mengutuk kegelapan, lebih baik ambillah pelita, maka saya ingin menawarkan beberapa langkah untuk memutus mata rantai teologi marah ini:
Pertama, tokoh umat agama apa pun, apalagi para ulama di tubuh Islam tidak boleh membiarkan perkembangan teologi marah ini. Â Diskursus teologi ramah harus terus didentumkan dan disebar kepada seluruh umat dengan sistematis, masif dan terstruktur. Tuhan yang terkesan marah di tangan mereka, harus direbut, dan kesan itu dihilangkan menjadi Tuhan Yang Maha Rahman. Â Padangan jihad yang destruktif, yang identik bom bunuh diri, teror dan pembunuhan, harus dicounter dengan jihad yang lebih produktif.
Kedua, keterlibatan aktif seluruh masyarakat, khususnya para orang tua dalam memantau perkembangan generasi muda. Keterlibatan anak muda dalam kajian-kajian keagamaan tidak bisa dilepas begitu saja. Perlu diperjelas apakah kajian keagamaan yang mereka ikuti menjadi sarana tumbuhnya teologi marah ini atau tidak.
Ketiga, Intervensi yang jelas dari pemangku kebijakan terhadap pendidikan keagamaan yang dilakukan oleh organisasi keagamaan atau kelompok keagamaan. Tidak boleh dibiarkan tumbuhnya teologi marah ini dari Institusi Pendidikan.
Keempat, lahan tempat berkembangnya teologi marah adalah  lingkungan masyarakat yang miskin, kesenjangan sosial yang akut dan pengangguran. Maka dalam hal ini seluruh agama, harus bisa menjawab persoalan tersebut. Rumah ibadat, jangan hanya dipercantik fisiknya, atau hanya sebatas ritual individu, tetapi harus menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat. Tentu saja pemerintah juga harus memenuhi hak-hak dasar dari rakyat Indonesia. Dengan terpenuhinya hak-hak dasar, seperti: sandang, papan, pangan, pendidikan dan rasa aman,  rakyat tidak terjatuh pada rasa frustrasi. Sebab bila frustrasi, maka akan mudah dirayu dan ditipu untuk mengikuti teologi marah tersebut.
Kendati seperti disebut Noam Chomsky, tidak ada formula paling jitu untuk mengatasi terorisme ini, namun kita bisa memutus mata rantainya. Jika mayoritas umat beragama berupaya mengembalikan agama ke fitrahnya sebagai Agama Kasih atau Agama Rahmah, niscaya para teroris itu kehilangan salah satu senjata andalannya. Agama! Â
(Artikel telah dimuat di blammakassar.kemenag.go.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H