Assituresenna adek e sarak e
Mappakarajai sarak e ri ade e
Mapakalebbii adek e ri sara e
Temmakulle sirusak bicara
Narekko pusa i bicaranna ade e
Makkutanae ri bicaranna sarak e
Makkutanae ri adek e
Temmekulleni si apusang.
Â
Persetujuan antara adat dan sarak
Sarak Menghormati adat
Adat Memuliakan sarak
Adat dan sarak tidak saling membatalkan putusan
Kalau Adat tidak dapat memutuskan satu perkara
Maka adat bertanya pada sarak
Jika Sarak tidak dapat memutuskan satu perkara
Sarak bertanya kepada adat
Keduanya tidak akan keliru dalam mengambil keputusan
Kalimat di atas, konon, menurut Mattulada, berasal dari piagam Ada'-Sarak yang diterbitkan oleh Abdul Makmur Khatib Tunggal  atau lebih dikenal dengan nama Datuk ri Bandang. Piagam ini dikeluarkan, saat Datuk ri Bandang menjadi qadhi di kerajaan Wajo.
Tentu amat menarik mencermati isi dari piagam ada'-sarak ini yang menunjukkan bagaimana  Islam menempatkan tradisi atau adat-istiadat yang hidup di masyarakat. Dalam piagam itu terang terlihat, bahwa syara' atau syariat, alih-alih menyingkirkan adat, sebaliknya malah merangkulnya. Syariat dan tradisi menjadi dua entitas yang satu sama lain saling melengkapi dan menghidupi. Bukan sebaliknya,  yang satu mencampakkan yang lainnya.
Jika benar teks-teks tersebut muncul atas inisiatif Datuk ri Bandang saat menjadi qadhi di Wajo, maka ini semakin istimewa. Seperti jamak kita ketahui, Datuk ri Bandang adalah penganjur Islam dengan orientasi fikih yang kental. Hal ini menjelaskan pada kita, bahwa ulama dulu yang berorientasi fikih sekalipun tetap saja merangkul adat dan tradisi. Â
Khalil Abdul Karim, sejarawan Arab kontemporer dengan jelas menyatakan, Â sejak awal datangnya Islam di tanah Arab, agama ini telah mengambil beberapa tradisi yang hidup di masyarakat. Islam tidak melakukan revolusi dengan serta merta membongkar semua tatanan yang ada.
Dalam al-Judzur at-Tarikhiyyah li asy-Syari'ah al-Islamiyyah  yang kemudian diterjemahkan LKIS dengan judul Syariah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Khalil Abd Karim menunjukkan sebagian besar dari ajaran Syariat  sudah memiliki akar historisnya di tanah Arab. Tata cara berhaji, salat, Salat Jumat, penghargaan terhadap bulan tertentu dengan berpuasa, bahkan beberapa bentuk hudud dan jinayat ternyata sudah ada dalam tradisi masyarakat pra-Islam. Â
Memang ada beberapa perubahan yang dilakukan, tetapi tradisi yang sudah berkembang dalam masyarakat Arab, sama sekali tidak disingkirkan. Â Dari sinilah kemudian berlaku kaidah:
 Artinya: "Yang ditetapkan oleh urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash."
Dalam kaidah fikih yang lain juga disebutkanÂ
Artinya: "Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti"
Ulama-ulama awal di  Nusantara yang mengembangkan Islam, menyadari betul prinsip-prinsip agama yang harus berpeluk mesra dengan tradisi. Keduanya tidak boleh saling menegasikan. Sebab agama sebagai ajaran dari langit, barulah bisa dikenali oleh masyarakat, jika ia membumi. Salah satu syarat agar bisa membumi, agama harus merangkul tradisi.
Proses penyebaran Islam yang mencumbu tradisi ini, telah diamati oleh para intelektual dan sejarawan. Dari sana melahirkan berbagai konsep dan teori. Taufik Abdullah misalnya menyebut satu konsep yang bernama Islam Lunak, Azyumardi Azra dengan istilah Islam yang evolusionisme dan Abdurrahman Wahid dengan 'Pribumisasi Islam-nya.' Konsep-konsep itu tentu memiliki kekhasan masing-masing, tetapi intinya sama, Islam di Nusantara ini disebar atau diperkenalkan dengan cara merangkul tradisi, adat dan budaya yang berkembang di masyarakat.
Tetapi sekarang mengapa ada segelintir umat Islam yang terkesan anti tradisi? Sedikit-sedikit, jika ada upacara adat atau karnaval kebudayaan rakyat, serta merta dituduh musyrik? Atau jika ada praktik keagamaan yang dipadukan dengan tradisi, sekonyong-konyong dianggap bidah?
Kelompok semacam ini  mungkin kurang bercermin dari cara-cara ulama Nusantara dalam menyebarkan agama. Boleh jadi pula dia lupa atau tidak mencecap pandangan-pandangan ulama yang telah menegaskan posisi penting tradisi dalam beragama. Mereka lupa bahwa sumber dalil tidak melulu teks, tetapi juga bisa berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang berkembang di masyarakat.
Dalam kitab al-Furuq, Imam Syihab al-Din al-Qarafi salah satu tokoh garda depan mazhab Maliki, bilang begini: Â
"Jika tradisi terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah bersikap kaku terhadap sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu semata sepanjang hidupmu. Kalau ada yang bertanya atau meminta fatwa dari negeri lain, tanyakanlah terlebih dahulu seperti apa tradisinya, kemudian berilah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu."
Agama yang mencumbu tradisi tidak hanya berlaku dalam Islam. Semua agama rupanya jika ingin diterima oleh masyarakat di berbagai tempat, harus bisa berdialog dengan tradisi. Agama Kristen, Hindu, Budha yang masuk di Indonesia pun mengalami perjumpaan yang intens dengan tradisi Nusantara.
Agama Kristen, misalnya,  sebagaimana digambarkan Philip van Akkeren (1994) dalam studinya yang menawan, telah melahirkan  "gereja pribumi" di Jawa Timur. Gereja tersebut kini dikenal sebagai Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Melalui Gereja Pribumi ini Conrad Laurens Coolen sebagai tokohnya berhasil mendialogkan antara ajaran Kristen dengan tradisi komunitas Ngoro di Jawa Timur. Yang lainnya dapat disebut pula Kiai Sadrach Surapranata, orang yang sering dijuluki (kendati boleh jadi dia sendiri tidak setuju) sebagai "Rasul Jawa" .  Kiai Sadrach berhasil menyampaikan Kristen dengan cara dan melalui kebudayaan Jawa. Karena itu pengikutnya dengan bangga dan penuh kesadaran memilih nama bagi mereka sendiri sebagai "Golongan Wong Kristen Mardhika".Â
Agama, dengan demikian, sangat sulit dipisahkan dengan tradisi dan kebudayaan. Begitu kita menyebut agama dalam konteks kehidupan manusia di dunia ini, maka dengan sendirinya akan melibatkan kebudayaan di dalamnya. Â Itulah, mengapa saya secara pribadi setuju dengan pandangan Jack Goody, Â bahwa agama sejatinya adalah apa yang dialami dan dipraktikkan oleh masyarakat. Dan itu adalah buah dari perkawinan antara ajaran agama dengan tradisi yang mereka lakoni sehari-hari. Saya setuju dengan pandangan ini, tanpa harus mengingkari, bahwa agama juga mengandung nilai-nilai langit. Â