Kisah surat kepada anjing hitam ini seharusnya mengetuk kesadaran kita, dalam hidup jangan selalu menilai seseorang pada sosok luarnya saja. Kita tidak pernah tahu siapa sejatinya sosok dari seseorang atau dari seekor binatang. Siapa yang pernah menduga anjing hitam yang dititipi surat itu ternyata adalah seorang wali? Begitu pun tidak ada yang pernah tahu persis, siapa sosok anjing yang sengaja ditabrak oleh Waloni itu?
Orang-orang tua di kampung selalu memesankan untuk menghormati semua makhluk Tuhan. Sekalipun makhluk Tuhan itu hina, miskin, papa, atau terlihat najis, tetapi kita jangan pernah kehilangan rasa hormat . "Teako callai tunayya, anjuru ri tokasiasi" (Jangan melecehkan apalagi berniat memusnahkan pada sesuatu yang terlihat nista, serta jangan mencibir seorang yang papa). Demikian pesan itu terus diulang-ulang dari generasi ke generasi di bumi Makassar.
Berdakwahlah tetapi Jangan Membenci
Namun, baiklah...! Mungkin cerita semacam surat pada anjing hitam ini tidak akan berpengaruh pada seorang yang menganggap dirinya pendakwah rasional. Tetapi seorang pendakwah harus menyadari, bahwa dirinya adalah kandil. Khalayak menanti cahaya kandil yang gemerlap menyejukkan, bukan yang panas membakar.
Pendakwah, dengan demikian, harus menjadi penyambung lidah dari Islam Rahmatan lil alamin. Kalau kebencian yang terus ditebar, bahkan hanya pada seekor anjing, tidakah akan menjadi tirai penghalang dari Islam Rahmatan lil alamin tersebut?
Pada akhirnya, saya tertarik mengutip kalimat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar. Beliau dalam penutupan Munas MUI belum lama berselang, bilang begini:
"Dakwah itu merangkul bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, membela bukan mencela."
Begitulah, ternyata pendakwah dan pembenci anjing itu jelas sekali bedanya bukan?