Jika keakraban yang dibangun hanya keakraban semu, bukan kedekatan yang sejati, jangan harap bisa mendapatkan informasi dan ilmu yang penting. Dan jika proses melebur itu hanya semata-mata agar bisa mendapatkan data, bukan karena sungguh-sungguh ingin belajar dan menjadi bagian dari komunitas, bisa diprediksi kita tidak akan pernah diterima di jongki bola dan ilalang boco.
Seorang antropolog senior di Bugis-Makassar yang saya kagumi, bercerita mengenai pengalaman dia untuk mendapatkan kepercayaan dari satu komunitas. Suatu ketika, dia diuji oleh pimpinan komunitas itu; apakah dia berani mengiris/menusuk sedikit lehernya dengan keris. Karena dia memang ingin belajar dengan ikhlas terhadap komunitas tersebut, maka ujian itu dia jalankan. Setelah itu barulah ia dapat diterima ilaleng boco. Di situlah ia mendapatkan banyak data, mantra, ilmu leluhur dan informasi rahasia yang sangat penting.
Di mata saya, begitulah rupanya metode etnografi ala Bugis-Makassar. Â Etnografi yang Anda gunakan harus berfungsi sebagai metode yang bisa mendekatkan Anda secara sungguh-sungguh dengan komunitas yang diteliti. Kedekatan, yang membuat jarak Anda dengan yang diteliti semakin menipis bahkan mungkin telah sirna. Keakraban itu sendiri tidak akan pernah pupus, kendati penelitian itu sendiri telah usai. Â Dan suatu ketika kearaban itu bisa saja meningkat menjadi pembelaan terhadap komunitas yang ditelitinya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H