Apa yang digambarkan ayahnya bahwa sang peneliti asing itu sangat akrab dengan ayah dan ibunya, sama sekali tidak dia rasakan setelah pertemuan dengan sang peneliti asing tersebut.Â
Setelah peristiwa tersebut ia mulai berpikir, bahwa seorang peneliti dan antropolog asing, betul-betul membangun keakraban dengan informan, sebatas sebagai bagian dari metodologi penelitian dan kepentingan  menggali data. Kedekatan yang dibangun ternyata palsu. Tidak ada hubungan kemanusian yang betul-betul sejati di sana.  Â
Meski tidak persis sama, tetapi cerita laki-laki setengah baya tadi, mirip dengan kisah si rektor tersebut. Si peneliti dalam dua cerita tersebut, hanya datang, berusaha akrab dan melebur dengan informan sebatas kepentingan penelitian .
Metode etnografi semacam ini, rupanya dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar justru menimbulkan kejenuhan. Orang yang sudah sering didatangi para peneliti, mulai bosan dengan segala maksud dan tujuan peneliti tersebut. Karena itu, mulailah mereka menilai siapa yang datang. Â Dalam penilaian itu, mereka tidak sekadar membaca siapa orang yang datang serta apa kepentingannya, tetapi juga menjajaki sejauh mana kesungguhan, keikhlasan dan pemihakan mereka terhadap yang diteliti.
Puang Matoa Saidi yang ikut bersama saya berhadapan dengan ketua adat tadi, menjelaskan, bahwa ketika lelaki berkopiah usang tadi marah-marah, sejatinya ia tengah kemasukan. Ia ketitisan roh nenek moyang. Melalui roh nenek moyang itu, ia sedang menjajaki apa kepentingan saya, serta menguji kesungguhan dan keikhlasan saya untuk membela kepentingan komunitas bersangkutan.
Saya tidak tahu apakah lelaki tersebut betul-betul tengah ketitisan nenek moyang saat menggebrak meja atau tidak, tetapi saya meyakini bahwa itulah cara dia menguji kesungguhan dan keikhlasan saya untuk mengetahui kebudayaan mereka. Dari situlah saya belajar, bagaimana secara sungguh-sungguh saya bisa diterima sebagai bagian dari komunitas, bukan semata-mata karena saya punya kepentingan mencari data.
Dalam kebudayaan Bugis untuk mendapatkan informasi, data atau ilmu tertentu memang harus melalui tahapan-tahapan. Tahapan tersebut menentukan tingkat kepercayaan komunitas yang diteliti terhadap peneliti.
Tahapan pemberian ilmu, data dan informasi itu menggunakan filosofi bertamu orang-orang Bugis. Â Filosofi bertamu itu, yakni: Â tamu yang diterima di sumpang bola (serambi rumah), tamu diterima di tengga bola (ruang tamu), tamu diterima di jongki bola (ruang dalam, dapur atau ruang keluarga) dan tamu diterima di laleng boco (di dalam kelambu).
Filosofi bertamu ini dalam hemat saya, merupakan metode etnografi ala Bugis-Makassar dalam menggali satu ilmu atau data.  Jika saya hanya diterima di sumpang bola, maka itu berarti saya belum berhasil diterima oleh penduduk yang diteliti. Saya belum berhasil, dalam istilah  Rogers, dressed down, yakni belum bisa melepas baju sebagai pendatang dan melebur dalam masyarakat. Dalam posisi seperti ini biasanya peneliti  dituntut membangun unconditional positive regard, yaitu membangun hubungan antara pribadi yang positif dengan dilandasi sikap saling menghargai tanpa syarat.
Tahap selanjutnya adalah diterima di tengnga bola. Pada tahap ini tamu (peneliti) mulai disambut, tetapi formal dan posisinya tetap sebagai tamu. Jika dikaitkan dengan pengumpulan data, maka data-data yang diperoleh masih data permukaan. Meminjam istilah Geertz,  peneliti hanya  memperoleh thin description (data permukaan). Ia belum bisa menemukan informasi pada lapisan-lapisan makna yang terdalam dari suatu peristiwa kebudayaan. Berbeda halnya jika seorang peneliti telah diterima di dapur (jongki bola), maka filosofinya, informasi yang lebih mendalam sudah bisa didapatkannya atau dalam istilah Geertz "thick description" (deskripsi mendalam). Apalagi jika sudah diterima dan berbicara di balik kelambu (ilalang boco), maka seorang peneliti sudah mendapatkan informasi rahasia, bahkan sudah dapat ilmu-ilmu tertentu, mantra warisan leluhur, dan data-data yang unik. Â
Tentu saja tidak mudah untuk diterima di jongki bola (ruang keluarga) apalagi laleng boco (di balik kelambu). Di sinilah proses melebur dan membangun keakraban diuji. Di sini pulalah keikhlasan, kesungguhan dan kerelaan menjadi bagian dari komunitas sedang ditakar.