Kisah  lain, yang sangat masyhur, adalah cerita tentang seorang pejabat yang datang ke Madura. Cerita ini entah benar atau tidak, tetapi sekali lagi menunjukkan strategi wicara orang-orang Madura mengelak dari perintah.
Konon pejabat tersebut meminta orang Madura mengukur tinggi sebuah tiang bendera. Perintah yang sesungguhnya aneh, tetapi apa mau dikata, kalau pejabat yang memerintah, rakyat hanya bisa nunut.
Salah seorang dari orang Madura yang hadir dengan sigap langsung memanjat tiang bendera sambil membawa meteran. Belum sampai di pucuk tiang bendera, Sang Pejabat yang khawatir melihatnya, segera menyuruhnya turun.
      "Untuk apa memanjat tiang bendera?" Tanya sang pejabat
      "Untuk mengukur tinggi tiang bendera ta....ye....pak."  Kata orang Madura dengan logat khas Maduranya.
      "Kamu salah, kalau mau mengukur tinggi tiang bendera, tidak perlu memanjat. Cukup turunkan tiang benderanya, rebahkan ke tanah, lalu ukur" Sang Pejabat memberikan penjelasan.
      "Tak bisa ta..ye... pak, kalau tiangnya kita turunkan ke tanah lalu diukur memanjang, itu bukan mengukur tinggi pak, tapi mengukur panjang."
Sang pejabat tertegun, Ia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban semacam itu. Tetapi akhirnya dia tidak memberikan lagi perintah apa-apa.
Sepintas apa yang diucapkan orang Madura ini adalah cara berkomunikasi biasa yang berlangsung dua arah. Tetapi sejatinya komunikasi ini telah memelesetkan komunikasi dari logika umum. Lawan bicara pun bisa jadi dibuat bingung. Tujuan semula untuk menancapkan kekuasaan lewat cara komunikasi yang terkesan terdidik, ambyar seketika.
Strategi linguistik semacam ini, tentu bukan hanya milik orang-orang Madura semata. Orang-orang Samin atau Sedulur Sikep yang hidup di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Bahasa yang terkesan  kasar dan rendah tetapi efektif digunakan untuk melawan para mandor hutan dan pejabat Belanda.
Sementara di Sulawesi Selatan, terdapat To Lise (Orang Lise) yang bermukim di kecamatan Panca Lautan, Sidenreng Rappang. Mereka menggunakan bahasa bugis yang disebutnya "ada tongeng" (bahasa apa adanya). Orang luar To lise menyebutnya sebagai lecco-lecco ada (bahasa retoris yang tidak masuk akal).