"M...a...m...a..., dibaca jadi...?"  Tanya seorang ibu dengan suara meninggi. Rupanya Ia sedang mengajar anaknya membaca.
"Papa...." Jawab si anak.
Mendengar jawaban si anak, ibunya menjadi dongkol, lalu satu alat pemukul diletakkan persis di hadapannya. Kita semua langsung mengerti, begitu pun saya kira anak tersebut, ini adalah gestur ancaman: "Jika masih keliru membaca, si anak akan kena pukul."Â
Video ini beredar di media sosial yang menunjukkan seorang ibu yang menggelegak emosinya saat mengajar anaknya di rumah. Sudah diajar berkali-kali membaca, tetapi apalah daya, si anak tetap saja keliru ketika menyatukan ejaannya menjadi satu kata.
Entah video itu adalah kejadian sesungguhnya atau sebuah drama yang dimainkan ibu dan anak tersebut, Â saya tidak tahu....! Tetapi cuplikan video ini memberikan gambaran bagaimana proses belajar-mengajar di rumah yang sedang dilakukan oleh anak-anak di bawah pengawasan orang tuanya.Â
Sudah dua pekan lebih anak-anak sekolah menjalankan proses Belajar Dari Rumah, akibat pandemi corona. Cerita-cerita yang mewarnai proses belajar di rumah itu  pun membanjiri lini masa kita. Banyak cerita yang menggelitik mengenai kesulitan orang tua mengajar anak-anak di rumahnya. Mereka menjadi stres, emosi dan akhirnya marah-marah karena anak-anaknya tidak paham pelajaran atau tidak bisa segera menyelesaikan tugas-tugas dari sekolahnya.
Pada akhirnya, orang tua pun ramai-ramai berkomentar di media sosial: "Betapa sulitnya mengajar anak-anak dan betapa mulia guru yang mengajar di sekolah." Sampai di situ kita semua sama dan sepakat. Guru memang adalah pekerjaan mulia, karena itulah mereka digelari pahlawan tanpa tanda jasa.
Tetapi, baiklah, saya melepaskan dulu soal-soal itu.
Tahukah Anda bahwa sesungguhnya sekolah tengah mempraktikkan penghukuman dan disiplin ala penjara? Hal mana yang menjadi objek terhukumnya adalah siswa. Dan di tengah situasi pandemi corona ini, ketika anak-anak sekolah sedang belajar dari rumah, proses itu terpampang dengan gamblang di depan kita.
Foucault (1977) dalam  Discipline and Punish The Birth of Prison  telah mengudarkan proses pendisiplinan tubuh melalui dua cara.  Pertama penghukuman atas tubuh melalui penyiksaan fisik  dan yang kedua penghukuman melalui penguasaan aspek kejiwaan. Kedua-duanya meminta adanya ketundukan tubuh dari individu. Kedua-duanya pun adalah sebuah teknik yang teratur untuk menanamkan kuasa (power investment) pada tubuh.
Kendati keduanya sama sebagai teknik pendisiplinan tubuh, tetapi arah yang ingin dicapai berbeda. Yang pertama menunjukkan ancaman, sehingga kekuasaan muncul dengan menakutkan serta tidak bisa ditentang. Sementara yang kedua berfungsi  to obtain a cure  atau memperbaiki dan menyembuhkan perilaku terhukum.
Foucault ternyata memperluas penjelasannya mengenai disiplin, penghukuman dan penjara ini ke aspek pendidikan dalam masyarakat modern. Â Beberapa pembaca Foucault, sebutlah seperti Cladis (1999) dan Coelen (2007), menunjukkan, Â penjara dan sekolah memiliki kemiripan dalam membentuk individu sosial. Jika penjara bisa digunakan sebagai sarana individualisasi (membentuk individu) dengan disiplin tertentu, maka demikian halnya sekolah.
Sekolah pada awalnya menerapkan  pendisiplinan dengan cara-cara penghukuman. Anak Didik yang tidak bisa disiplin, lamban dan sulit memahami pelajaran dengan baik, melanggar aturan dan seterusnya, diberikan hukuman tertentu. Ada yang dijemur di halaman sekolah, berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat sebelah atau bahkan dipukul pakai penggaris. Efek yang disasar adalah ancaman terhadap siswa bersangkutan dan anak didik lainnya.  Di sini sedang dipertontonkan adanya satu rezim pendidikan yang menakutkan yang mau tidak mau harus ditaati.
Namun semakin modern dunia pendidikan kita, proses pendisiplinan pun berubah. Polanya kini to obtain a cure. Pendisiplinan bukan dengan menghukum, tetapi ditata dan diperbaiki perilakunya, tentu termasuk cara belajarnya. Proses penataan siswa dilakukan dalam sebuah proses administrasi dan pengawasan pendidikan.
Dalam penataan administrasi; siswa diberi patokan tentang pengetahuan yang standar, bagaimana harus mencapainya dalam seminggu/sebulan, jika ingin lulus dengan baik maka nilai mata pelajaran grafiknya harus terus menanjak, bukan flat, apalagi turun, Â dan seterusnya. Sementara pengawasan dilakukan melalui guru, dilakukan dengan memberikan penilaian. Angka-angka penilaian tersebut menjadi alat ukur apakah siswa yang bersangkutan telah menjadi individu yang diinginkan sekolah atau belum.
Apa yang terjadi ketika proses belajar itu dilakukan dengan cara Belajar Dari Rumah karena situasi pandemi corona ini? Â Saya memandangnya, sistem pendidikan kita masih berkutat menerapkan proses pendisiplinan ala penjara sebagaimana konsep Foucault dalam Discipline and Punish tadi. Bahkan lebih kronis dari sebelumnya.
Jika sebelumnya, proses pendisiplinan sekolah hanya menjalankan salah satu dari proses pendisiplinan ala penjara, yakni antara menghukum atau menata, Â maka kini, sadar atau tidak, telah menerapkan dua-duanya.Â
Pertama, Â Siswa ditata secara administratif agar tetap belajar secara disiplin.
Salah seorang guru, misalnya, Â yang saya intip di media sosial, memberlakukan jadwal yang ketat. Jam berapa siswa harus bangun, melakukan apa setelah bangun, kemudian belajar apa dan seterusnya. Proses ini dilengkapi dengan penilaian.
Sementara itu, di tempat berbeda, seorang saudara saya menceritakan via telepon bagaimana anak-anaknya sejak baru bangun dari tidur dipaksa berjibaku dengan tugas-tugas sekolah yang seabrek. Niscaya dikerjakan, sebab secara administrasi mereka telah diberi target untuk mencapai hal-hal tertentu dalam sehari dan dilaporkan melalui smartphone.
Seorang ibu lain bercerita pengalaman anaknya. Â Jika anaknya bangun pagi, nyalinya ciut membuka WhatsApp grup sekolah, karena khawatir segera disergap tugas-tugas dari sekolah.
Untuk menyukseskan hal tersebut, sekolah menerapkan pengawasan  melalui media sosial. Anak didik harus melaporkan hasil belajarnya secara berkala di medsos atau email, baik laporan tertulis maupun melalui video.Â
Kadang-kadang ada juga guru yang sedikit gagap teknologi. Misalnya pelajaran yang ditugaskan ke murid-muridnya, disuruh print out, jilid, lalu foto. Fotonya yang kemudian dikirim melalui WhatsApp. Padahal tugasnya dalam bentuk file sejatinya bisa langsung dikirim melalui WhatsApp, tanpa perlu diprint.
Situasi ini menunjukkan bagaimana Smartphone bertindak sebagai panopticon. Maksudnya, smartphone berfungsi sebagaimana menara penjara yang sedang mengawasi narapidana, hanya saja kali ini berubah menjadi alat yang mengawasi siswa. Pengawasan yang lebih melekat, karena smartphone ada pada diri siswa masing-masing.Â
Kedua, untuk memperlancar proses ini, digunakanlah sistem pendisiplinan yang lain, yakni mekanisme penghukuman. Algojonya adalah orang tua siswa atau murid. Melalui smartphone orang tua (utamanya ibu-ibu) diarahkan untuk memastikan anak didik itu memahami atau menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan rumahnya. Untuk keperluan itu, maka orang tua sebagai algojo menggunakan cara-cara penghukuman. Mulai dari bentakan, ancaman, bahkan sampai menghukum secara fisik dijadikan cara, agar siswa (anak-anaknya) bisa menyelesaikan tugasnya. Untuk hal ini, saya sendiri menyaksikan, dua kali anak saya menangis dibentak-bentak oleh ibunya.
Seorang teman di media sosial, tentu dengan bercanda, menyatakan; "corona memang menakutkan, tapi bagi anak-anak sekolah, diajar oleh ibunya juga tak kalah bikin empot-empotan."
Terang di sini, proses pendidikan yang sedang menyebarkan ancaman dan menakutkan bagi siswa sedang berlangsung. Mau tidak mau siswa harus taat dan patuh. Â Di tengah-tengah itu tentu ada-ada saja siasat para anak sekolah ini untuk mengelabui orang tuanya. Â Tetapi saya tidak akan membahasnya di sini. Mungkin di kesempatan lain.
"Tetapi apakah dengan demikian anak-anak sekolah tidak perlu didisiplinkan?" Salah...jangan begitu pertanyaannya. Â Seharusnya kita bertanya; "pendisiplinan itu untuk kepentingan siapa? Â Apakah siswa ikut menjadi subjek dalam proses pendisiplinan ini atau hanya jadi objek belaka? Apakah benar sekolah yang sedang melakukan individualisasi terhadap siswa itu untuk kepentingan siswa yang bersangkutan atau hanya agar target sekolah terpenuhi?
Kita saksikan, semakin sekolah itu dianggap favorit dan semakin standarnya tinggi, pembebanan dan disiplinnya terhadap siswa juga semakin ketat. Apakah semua ini bukan karena sekolah itu ingin tetap diakui berada pada posisinya sebagai sekolah favorit atau sekolah dengan standar yang tinggi?Â
Jauh-jauh hari Paulo Freire (1972) telah memperingatkan bahwa rezim pendidikan, yang bernama sekolah itu terjebak pada situasi yang disebutnya fear of freedom, takut akan kebebasan. Sekolah tergantung pada pola dan standar yang sudah dibakukan dan kehilangan inisiatif untuk bebas dari itu. Â Karena ketergantungan yang akut, maka sekolah juga takut memberikan kebebasan pada para siswanya untuk menentukan sendiri apa yang akan dicapainya, tentu sesuai dengan potensi yang dimilikinya.Â
Maka begitulah seterusnya. Sekolah hanya berkutat menentukan aturan, pengetahuan yang harus dipelajari, bagaimana kita harus belajar dan apa yang kita harus capai. Celakanya ia pun bergantung pada sistem yang dibentuknya itu. Â Mungkin karena itulah John Holt (1969) dalam tulisannya School is bad for Children, menyebutkan, nyaris semua anak sebelum masuk sekolah; lebih pandai, lebih ingin tahu, sedikit takut, penuh inisiatif dan tangguh menghadapi masalah ketimbang apa yang didapatkannya dari sekolah. Mengapa demikian? Karena setelah sekolah, demikian Holt dalam tulisannya di koran Saturday Evening Post, anak-anak cerdas dipaksa memamah berbagai pelajaran yang harus dipelajari karena demikianlah aturannya.
Padahal pendidikan, sebagaimana dunia, kata Freire, bukanlah satu tatanan yang statis dan tertutup, dimana orang hanya bisa menyesuaikan diri. Pendidikan dan dunia adalah bahan mentah yang harus digeluti dan dipecahkan.  Setiap manusia adalah subjek yang mampu bertindak dan punya peluang  untuk menggeluti, mengubah dan memecahkannya, tak terkecuali anak didik.
Corona, lagi-lagi menyingkap salah satu borok dari dunia sekolah kita. Melalui pembelajaran dari rumah itu, kita bisa melihat secara terang bagaimana proses pendisiplinan itu berlangsung dan anak didik kita dijadikan objek sedemikian rupa. Salah guru? Tentu saja bukan. Guru yang mulia itu juga adalah objek-objek yang terperangkap dalam sistem pendidikan kita yang tidak membebaskan ini. Â Begitulah kira-kira....!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI