Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Ibadat Itu pun Roboh

5 Februari 2020   06:58 Diperbarui: 5 Februari 2020   07:18 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komik 2 panel karya Kurnia Harta Winata

Kendati persentase perusakan rumah ibadat dibanding dengan pendiriannya, bisa dibilang kecil, tetapi peristiwa perusakan dan pelarangan rumah ibadat yang semakin marak akhir-akhir ini tidak bisa dianggap sepele. Dalam negara yang kebebasan beragamanya dijamin oleh UUD 1945, tetapi  masih terdapat kasus-kasus perusakan dan pelarangan rumah ibadat adalah hal yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.  Apalagi negara ini disebut sebagai negeri yang toleran, damai, permai, gemah ripah loh jenawi.

Kesulitan mendirikan rumah ibadat dan kasus perusakan rumah ibadat seperti dalam laporan Setara Institute maupun Wahid Institute, biasanya dialami oleh kelompok-kelompok minoritas dalam satu masyarakat.  Gereja, Pura atau Vihara misalnya, sulit berdiri di tengah mayoritas umat Islam. Sebaliknya Masjid juga sulit didirikan di daerah mayoritas Kristen atau agama lain. Tentu tidak semua daerah mengalami hal yang sama. Di daerah tertentu, dengan toleransi yang berjalan baik, hampir tidak ada persoalan pendirian rumah ibadat yang dialami kelompok minoritas.

Salah satu yang sering dijadikan alat untuk melegitimasi penolakan pendirian Rumah Ibadat oleh kelompok warga tertentu, adalah: "Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 tahun 2016,"  atau lazim disebut dengan "PBM 9 & 8/2016".    Peraturan ini sendiri, sejatinya, bukan semata-mata mengatur tentang pendirian rumah ibadat, tetapi juga mencakup pengaturan FKUB dan peran Pemerintah Daerah dalam merawat kerukunan . 

Sementara aturan tentang pendirian rumah ibadat hanya diatur dalam beberapa pasal saja, persisnya dalam pasal-pasal yang terdapat di BAB IV dan BAB V.  

Dalam PBM 9 & 8 ini beberapa pasal yang sering menjadi dasar untuk menolak pembangunan rumah ibadat adalah pasal 14 ayat 1 yang berbunyi: "Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan bangunan gedung." Juga pasal yang memuat persyaratan khusus, yaitu adanya penganut agama bersangkutan sebanyak 90 orang, yang dibuktikan dengan foto copy KTP (Pasal 14 ayat 2.a). Selain itu harus ada dukungan  masyarakat sekitar sebanyak 60 orang (Pasal 14 ayat 2.b).

Dalam kasus rumah ibadat di kelurahan Tumaluntung, Minahasa Utara tersebut, salah satu alasan beberapa warga dan tokoh masyarakat menolak pendirian Musallah, karena belum adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta rekomendasi dari FKUB. 

Mengenai perihal IMB memang terkait dengan Pasal 14 ayat 1. Akan halnya rekomendasi FKUB biasanya akan keluar jika memenuhi ketentuan Pasal 14 ayat 2, maupun ayat 1.

Masalahnya, dalam banyak kasus, sering kali kelompok yang ingin mendirikan rumah ibadat telah berupaya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, tetapi tetap saja terbentur soal-soal administrasi  dan birokrasi yang (sengaja) berbelit-belit. Hal ini biasanya terjadi, meski tidak selalu, ketika agama minoritas yang akan mendirikan rumah ibadat di suatu daerah.

Lolos dalam soal administrasi, belum tentu dapat rekomendasi lagi dari FKUB. Kadang-kadang mereka tertahan mendapatkan rekomendasi dengan alasan; jumlah pemeluknya tidak mencapai 90, jemaahnya banyak dari luar kampung dan masyarakat sekitar tidak mendukung.

Lagi-lagi, orang atau kelompok yang menolak tersebut atas nama pasal 14 ayat 1, PBM 9 & 8/2016. Di tingkat implementasi kebijakan terjadi semacam politisasi aturan untuk menghalangi penganut agama lain mendirikan rumah ibadat.   

 Kerentanan PBM 9 & 8 ini disalahtafsirkan dan dijadikan alat untuk menghalangi pendirian rumah ibadat, membuat beberapa aktivis kebebasan beragama, misalnya dari Setara Institute, meminta aturan ini ditinjau ulang.  Alasan mereka, aturan tersebut justru menghalangi kebebasan beragama masyarakat yang telah dijamin oleh UUD 1945, pasal 28 E.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun