Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sunda Empire, Halu atau Perlawanan?

31 Januari 2020   13:42 Diperbarui: 1 Februari 2020   10:45 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir kita terhenyak dengan berita kemunculan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire dan terakhir King of the King. Jagat +62 menjadi heboh. Di media sosial menjadi perbincangan dan nitizen pun kasak-kusuk. Sementara itu, media cetak, online dan elektronik berlomba memberitakan, bahkan salah satu program talk show, yakni ILC, menayangkan episode khusus mengenai Sunda Empire.  Apa lacur, cerita Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire ini adalah kekonyolan, tetapi kita pun ikut menjadi lancut dengan sibuk dan serius memperbincangkannya.

Para sejarawan pun tak kurang ripuhnya. Mereka sibuk membantah sejarah yang dibangun oleh para pentolan Sunda Empire. Bahkan seorang Roy Suryo pun harus melaporkan Sunda Empire ke polisi sebagai penyebar berita palsu.  Tentu apa yang dilakukan para sejarawan atau pun Roy, tak lain karena merasa sejarah telah dilencengkan. Publik secara telanjang dibohongi. Adalah kewajiban para sejarawan dan Roy Suryo untuk meluruskannya. Kurang lebih, mungkin, begitulah yang ada di pikiran mereka.  

Akhirnya memang cerita tentang Keraton Agung Sejagat atau pun Sunda Empire harus ambruk. Mereka tak bisa melawan narasi umum dan sejarah yang terlanjur dianggap benar selama ini. Para pentolan-pentolan Keraton Sejagat maupun Sunda Empire pun harus berakhir menjadi pesakitan. Mereka ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

Saya pada mulanya mendengar penuturan salah satu pentolan Sunda Empire, Rangga Sasana, tentang kerajaannya itu melalui kanal ILC di youtube.  Pada awal menyimak penjelasan dari Rangga, saya mengkal tidak karuan. "Ini orang ngomong apa? Penjelasannya tak jelas juntrungannya. Sejarah kok dibolak-balik sedemikian rupa." Coba bayangkan tiba-tiba dia menyebutkan bahwa PBB itu pertama kali dibentuk di Indonesia, sementara dari sejarah umum yang kita baca selama ini, PBB dibentuk di San Francisco, Amerika.

Saya pun mulanya, melihat Rangga Sasana sebagai contoh orang-orang +62 yang hanya berhalusinasi. 'Manusia Halu', begitu istilah anak-anak milenial. Tetapi lamat-lamat saya melihat hal lain dalam tuturan si Rangga ini. Ia, meski dengan seenaknya, tengah menarasikan sejarahnya sendiri. Mungkin menyebut Rangga sedang membangun sejarah tanding, terlalu berlebihan, tetapi yang jelas Ia tengah menggeser pusat. Kalau sebelumnya pusat selalu dianggap ada di negeri-negeri Barat atau di negara Amerika, maka kini pusat ada di Sunda. PBB berawal dari Sunda dan pemerintahan awalnya dari Sunda.

Apa yang dilakukan oleh Rangga Sasana dengan menggeser antara yang pusat dengan yang lokal, sejatinya lazim dilakukan oleh masyarakat-masyarakat lokal. Jika Anda sering berjumpa dan mendengarkan tuturan masyarakat lokal, maka narasi yang menjadikan lokalitasnya masing-masing sebagai pusat, akan sering ditemukan. Dalam beberapa kali perjumpaan dengan komunitas lokal, saya menemukan cerita-cerita semacam ini.

Ketika saya ke Tanah Toa Kajang, misalnya, saya diberitahukan oleh Amma Toa (pimpinan adat Tanah Toa) bahwa Tanah Toa Kajang adalah possi tanah (pusat bumi).  "Kunni nampa tasue sullu".  Di sinilah semuanya bermula, lalu menyebar keluar. Agama dari Tanah Toa,  kemudian menyebar keluar. Bahkan dalam cerita Amma Toa, orang-orang barat yang berambut pirang awalnya semua berasal dari Tanah Toa, kemudian keluar menyebar ke negeri-negeri lain.

"Kelak di suatu saat mereka akan kembali mencari asal usulnya," Jelas Amma Toa. "Dan kini mereka semua telah kembali ke Tanah Toa, mencari asal-usulnya. Lihatlah sekarang, Islam datang kembali ke Tanah Toa dan orang-orang berambut pirang kembali lagi ke Tanah Toa." Lanjut Amma Toa.

Di komunitas lokal, lazim pula muncul cerita tentang Amerika yang berasal dari kata ammirika (yang berhembus). Kata itu, demikian cerita yang berkembang, adalah bahasa Makassar karena memang yang menemukannya adalah orang Makassar, namanya Dg Napo yang berasal dari Bonerate. Lama kelamaan disebutlah dengan nama Napoleon Bonaparte.

Cerita ini ingin menunjukkan bahwa para penemu dulu bukan orang Barat, bukan Napoleon dari Prancis, tetapi orang-orang Makassar. Cerita itu juga berupaya menggeser posisi pusat dan lokal.

Meminjam Foucault, apa yang dilakukan komunitas lokal, dan mungkin termasuk yang dilakukan Si Rangga dan 'Sunda Empire-nya' adalah semacam insurrection of the subjugated knowledge (kebangkitan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pengetahun lokal yang selama ini tidak direken, dipandang sebelah mata atau malah hanya menjadi objek tontonan,  berbalik menjadi yang memandang dan menjelma jadi subjek.

Hasilnya ...? Pertama-tama membuat kebingungan yang mendengarnya, apalagi jika yang mendengar itu terbiasa dengan nalar mainstream. Lihatlah! Betapa bingungnya para sejarawan mendengar penuturan Rangga. Sering kali,  beberapa narasumber lain di acara talk show ILC harus geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Rangga yang dirasanya tidak masuk akal. 

Kebingungan,  menjadikan posisi saat itu berganti. Yang sebelumnya menjadi subjek, kini menjadi objek. Bahkan dalam pengalaman saya bertemu dengan komunitas lokal, jika saya bingung mendengar narasi mereka, maka mereka malah tertawa. Menertawakan saya. Dan kata Mark Twain; "Tertawa itulah senjata yang paling ampuh. Menghadapi orang tertawa tidak ada yang mampu bertahan."

Cara-cara yang dilakukan oleh komunitas lokal dengan mengalih tempatkan antara yang pusat dan lokal, serta membangun narasi tandingan, adalah bagian dari cara-cara menyiasati dominasi dari luar.

Dengan cara itu,  keyakinan, tradisi, kebiasaan hidup sehari-hari bisa dijaga kelangsungannya. Dengan narasi tandingan itu, masyarakat di komunitas lokal ditegaskan kesetiaannya pada lembaga-lembaga lokal dan dikukuhkan keyakinannya pada nilai-nilai yang selama ini mereka perpegangi. 

Boleh dibilang, cara ini adalah salah satu perlawanan dari komunitas lokal terhadap dominasi kelompok, ajaran, atau negara tertentu. Mereka tidak melawan dengan melakukan pengerahan massa, turun aksi, atau melakukan benturan fisik. Perlawanan mereka melalui kebudayaan yang merupakan bagian dari hidupnya sehari-hari. Itulah sebabnya James C. Scott menyebutnya Every day form of resistance.

Namun benarkah, Sunda Empire ini adalah perlawanan kebudayaan? Betulkah persis sama dengan yang dilakukan oleh banyak komunitas lokal di berbagai penjuru Nusantara? Saya tidak bisa langsung memastikannya, karena saya tidak pernah menelitinya secara langsung.

Apalagi, konon, di belakang Sunda Empire ini, ada tokoh-tokoh yang merekayasa dengan kepentingan tertentu. Kalau sudah begitu, tentu penjelasannya menjadi berbeda. 

Sekali lagi, saya hanya lamat-lamat  merasakan hal yang sama ketika mendengar tuturan-tuturan dari komunitas lokal dan mendengarkan penjelasan dari salah satu pentolan Sunda Empire ini. Beberapa tindakan pentolan Sunda Empire yang lain, seperti mengedit foto, mengubah redaksi wikipedia  dan kebohongan yang disengaja, tentu saja tidak bisa dibenarkan dan jelas itu bukanlah bentuk perlawanan kebudayaan.

Apalagi, kalau seperti Keraton Agung Sejagat yang konon memungut uang dari anggotanya, tentu tidak bisa lagi dibiarkan. Singkatnya jika melakukan tindakan kriminal, ya...harus ditangkap.

Walhasil, kalaupun akhirnya kita mengambil kesimpulan bahwa Sunda  Empire yang ingin membangun imperium dunia hanyalah contoh-contoh orang yang berhalusinasi, maka hal yang sama juga kita harus tujukan pada mereka yang sedang bermimpi membangun imperium menguasai seluruh dunia berdasarkan agama tertentu. Keduanya, boleh jadi, tidak jauh berbeda.

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun