Gelar itu ternyata pertama-tama muncul dari orang-orang dari luar komunitas yang sering naik melakukan ritual ke Bawakaraeng. Dalam perkembangannya gelar itu sering disebut ulang oleh berbagai media, bahkan peneliti.Â
Pada awalnya gelar haji Bawakaraeng disematkan orang luar sebagai bentuk ejekan terhadap perilaku komunitas Bawakaraeng ini. Gelar itu stereotip dan bermakna peyoratif. Istilah itu seakan memersilkan tuduhan perilaku yang sesat.
Komunitas Bawakaraeng sendiri lama kelamaan malah menangkap identitas yang peyoratif ini. Haji Bawakaraeng dijadikan identitas dengan makna baru; "Haji Bawakaraeng berarti orang yang mencari tempat yang paling tepat untuk menunjukkan dirinya sebagai hamba, karena belum sanggup ke tanah suci", "Haji Bawakaraeng juga berarti sebuah perjalanan untuk menunjukkan keikhlasan dan keyakinan."
Yang lain memaknai haji Bawakaraeng semacam uzlah (menyepi untuk dekat dengan Sang Maha Kuasa). Apapun pemaknaan komunitas ini atas Haji Bawakaraeng, yang pasti mereka telah mengubahnya menjadi sesuatu yang bermakna positif.
Boleh dikata, jika merujuk pada Imanuel Castells (2003) apa yang dilakukan oleh komunitas (haji) Bawakaraeng itu adalah resistance of identity atau resistensi identitas. Hal ini muncul setelah sebelumnya kelompok di luar mereka melakukan semacam legitimizing of identity, yakni penyematan satu identitas yang terkesan peyoratif.Â
Komunitas Bawakaraeng yang tadinya dikonstruksi identitasnya sebagai sebuah ejekan, melakukan semacam resistensi dengan membentuk makna baru pada identitas yang dilekatkan tadi. Pada akhirnya, terjadi semacam pembacaan ulang dan pembentukan identitas baru dari apa yang dibangun sebelumnya oleh kelompok dominan.
Kalau demikian, komunitas yang sering naik ke Bawkaraeng tidaklah sungguh-sungguh, ingin mengganti haji ke Makkah dengan mencari jalan pintas ke Bawakaraeng. Haji Bawakaraeng tak lain hanyalah permainan bahasa. Ia bisa pula disebut sebagai mimikri. Apa itu?Â
Mimicry is thus the sign of a double articulation; a complex strategy of reform, regulation and discipline, which appropeiates the Other as it visualizes power". Begitu penjelasan Homi Bhaba (1997) & tak perlu saya terjemahkan, saya takut salah (he..he..). Lagi pula anda yang membaca mungkin lebih paham terjemahannya.Â
Begitulah, pada akhirnya saya sampai pada kesimpulan (sementara), tidak ada yang berhaji ke Bawakaraeng. Kalau soal mereka yang beribadah di atas puncak Bawakaraeng itu diganjar setimpal dengan pahala haji, siapalah saya yang bisa menghalangi hak prerogatif Allah.
(Catatan; Nama dan kampung "Lelaki Berkulit Sedikit Legam," sengaja tidak disebutkan dalam tulisan ini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H