Karena itu di setiap acara, baik hanya pesta keluarga maupun acara ritual adat, pembagian hidangan makanan bagi muslim dan yang bukan muslim, selalu dilakukan. Tidak hanya makanannya, bahkan ruangannya, tempat makanannya dan proses mengolah makanannya juga dibedakan.Â
"Sering kali acara-acara tertentu hanya menghidangkan makanan yang bisa disantap kaum muslim, tidak lagi menyajikan makanan lainnya, demi menghormati kami yang muslim ini," begitu kata Yunus Tajuddin, Tokoh Adat Muslim yang menemui kami di sekitar Tongkonan Ne' Leppe To'Karau.Â
 "Karena itu jangan ragu menyantap hidangan jika hadir di acara-acara atau pesta di sini pak, kami sudah memiliki kearifan lokal untuk mengaturnya sedemikian rupa," sambung ibu Naomi.
Mendengar itu, Faisal seorang sejawat peneliti Litbang Agama Makassar yang sebelumnya sudah tinggal cukup lama di Tana Toraja, mengangguk membenarkan. Faisal sendiri sudah merasakan bagaimana menghadiri acara-acara dan pesta adat dan bagaimana Ia disuguhkan makanan.
Penghormatan dan hidup damai antara pemeluk agama yang berbeda ternyata bersumber dari adanya tradisi tongkonan. Sepintas atau jika dilihat secara fisik, tongkonan hanyalah rumah adat masyarakat Toraja dengan bentuknya yang unik. Namun sebenarnya tongkonan adalah simbol ikatan kekerabatan.Â
Tongkonan menjadikan kekerabatan antara masyarakat Toraja, terjalin dengan kuat, meskipun berbeda agama.
Melalui tongkonan, begitu penjelasan pendeta Daud Sangka, tidak ada agama yang dipandang lebih rendah atau lebih tinggi. Semua sama dan setara meski yang satu lebih banyak pemeluknya dibanding yang lain. Ibaratnya dalam pepatah: "Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Berkuah sama menghirup, bersambal sama mencolek"
Melalui tongkonan, menyambut yang lain yang berbeda, dipraktikkan secara riil. Jika ada acara keluarga atau upacara adat yang berlangsung di tongkonan, yang Nasrani menyambut yang Muslim, begitu pun sebaliknya. Perayaan keragaman begitu gamblang terlihat di dalam Tongkonan itu. Di dalam dan melalui tongkonan, Qabul Al-akhar (menyambut sang lian) begitu istilah Milad Hanna, nyata dilaksanakan di masyarakat Tana Lepongan Bulan ini.
Lima hari lamanya berada di Tana Lepongan Bulan, banyak kisah yang melukiskan kerukunan masyarakat di daerah ini. Cerita-cerita yang berkesan, namun tidak semua bisa saya tumpahkan dalam tulisan ini. Biarlah tetap jadi kenangan, suatu saat cerita itu bisa kembali diukir dalam goresan pena yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H