Dan benarlah..., cerita azan dan lonceng gereja yang terdengar beriringan itu adalah penanda awal, bahwa warga Toraja hidupnya selama ini memang selalu seiras-seirama, meski mereka tidak harus satu agama.Â
Imam Mesjid Agung Rantepao, Ustaz Mujahidin, yang telah berdiam lebih kurang tiga puluh tahun di Toraja ini merasakan betapa hangatnya kekerabatan di tempat ini. Bukan hanya karena orang Nasrani yang berada di sekitarnya selalu ramah padanya, tapi juga orang Nasrani itu selalu menjaga umat Islam saat menjalankan ibadah.
"Saat lebaran Idulfitri, saudara-saudara dari Nasrani ikut menjaga ibadah kami, sebaliknya jika perayaan natal kami pun terlibat menjaga suasana aman." kata Ustaz ini dengan paras yang semringah.Â
Tentu pandangan Ustaz Mujahidin dalam menggambarkan keragaman di Tana Lepongan Bulan ini sangat terkait dengan apa yang Ia rasakan; Bagaimana keberadaan dia saat berada di komunitas yang mayoritas beragama berbeda dengannya.Â
Bagaimana Ia diperlakukan, dan seterusnya. Singkatnya Ia melihat keragaman dan kehidupan di dalamnya berdasarkan bagaimana dia berada. Baru dari situlah ia bisa melihat konteks keberagaman itu apa adanya. "We don't see things (diversity) as they are, we see things as we are". Begitu lebih kurang kata Kenan Malik.
Hari berikutnya dalam kunjungan ke Tana Lepongan Bulan, kami berkunjung ke salah satu tongkonan yang bernama Tongkonan Ne'Leppe To' Karau Nek Fany. Di tempat ini kami menyaksikan orang Muslim dan Kristen berdiam di sekitar tongkonan tersebut dengan damai.Â
Keduanya bahkan menyambut kami dengan ramah. Dua tokoh adat yaitu Yunus Tajuddin beragama Islam dan Cornelius Pasulu dari Kristen menyambut kami dengan ramah. Yang muslim datang dengan kopiah hitam, berkaus hitam dan bersarung, sementara yang Kristen mengenakan sarung, tapi tak berkopiah.Â
Ketika waktu salat tiba, Cornelius memberi isyarat kepada Yunus Tajuddin untuk menyiapkan tempat salat kepada kami. Yunus bergegas menyiapkan sajadah, sementara Cornelius meminta kepada beberapa anak muda untuk membersihkan lantai di bawah tongkonan untuk salat.Â
Ibu Naomi, seorang Nasrani dan dosen di STKN yang ikut dalam rombongan, menawarkan bila ingin salat di atas tongkonan tidak jadi soal. Tawaran yang terlihat bersungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi.
Peristiwa itu cukup mengesankan. Saya pun memang akhirnya salat di sana, tidak di atas tongkonan tapi di bawahnya. Tidak salah jika akhirnya peristiwa itu menjadi inspirasi sutradara film Tondok Solata, Baso Marannu, untuk menjadi bagian dari fragmen dalam film.
Dari situ pulalah kami mendapat penjelasan bagaimana di Toraja atau Tana Lepongan Bulan ini, makanan halal sangat diperhatikan oleh masyarakat. Uniknya yang sangat memperhatikan soal ini adalah orang-orang Nasrani.Â