Gelap baru saja jatuh ke bumi, saat rombongan kami mendekat ke gerbang perbatasan Tana Lepongan Bulan, kini disebut Tana Toraja, salah satu kabupaten di ujung utara Sulawesi selatan.
Gapura berwujud tongkonan (rumah adat yang berwujud rumah panggung; simbol kekerabatan) samar-samar menjulang gagah di keremangan senja yang terlihat semakin kelam. Sinar lampu kendaraan menolong kami untuk tetap bisa melihat jelas keberadaan pintu gerbang tersebut.
Begitu melewati gerbang, suasana gelap dan hujan berinai-rinai yang tiba-tiba runtuh dari langit membuat kami kesulitan untuk melihat suasana sekeliling. Tetapi sekali dua kali, kami masih bisa menikmati rumah ibadah yang tegak menjulang sepanjang kami melewati perbatasan Toraja. Gereja dan juga masjid, terlihat berdiri di sisi jalan. Tak jarang letak antara masjid dan gereja terasa tidak berjauhan, sebab baru beberapa jenak kami melihat gereja, tak berselang lama kami juga sudah menyaksikan masjid yang berdiri anggun.
Kedatangan kami ke Tana Lepongan Bulan dalam rangka pembuatan film pendek bertema toleransi beragama. Judulnya Tondok Solata (Kampung Persahabatan).
Film ini adalah salah satu proyek Litbang Agama Makassar untuk menyambungkan moderatisme agama ke kalangan milenial. Kaum milenial ini, sama kita tahu, memiliki dunianya sendiri.Â
Dunia yang sedikit banyaknya ditentukan oleh internet dan media sosial. Karena itulah kampanye soal moderatisme agama harus bisa dinikmati melalui media sosial pula, seperti youtube, whatsapp, instagram ataupun facebook. Salah satu bentuk penyajiannya adalah film-film pendek atau film dokumenter. Jika para pengusung moderatisme agama tidak melakukan itu, maka percayalah kalangan milenial akan diterkam oleh ekstremisme agama di media sosial.
Sudah barang tentu memilih Toraja sebagai lokasi pembuatan film pendek tentang toleransi bukan tanpa sebab. Tidak hanya kabar lisan, tapi juga beragam tulisan telah melukiskan indahnya kerukunan beragama di daerah ini.Â
Saya sendiri telah berkali-kali berkunjung ke Toraja dan setiap kali kunjungan itu, saya dapat merasakan kehangatan masyarakat Lepongan Bulan. Sebagai seorang muslim, saya diterima di kampus Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STKN-tempat yang paling sering saya kunjungi), layaknya kerabat dan sahabat yang sangat dekat.
Dalam kunjungan kali ini pun saya merasakan pengalaman toleransi yang mengesankan tersebut. Di mulai saat subuh hari mulai merayap. Dari tempat saya menginap di Rantepao, azan terdengar berkumandang dari Mesjid Agung.
Panggilan untuk melaksanakan salat subuh bagi kaum muslim berkumandang menembus dinding rumah, mengelus kalbu agar segera bangkit dari peraduan. Tak berselang lama, lonceng gereja pun terdengar bertalu-talu. Suara ritmisnya merayap-rayap di udara, mengingatkan kaum Nasrani, baik Kristen maupun yang Katolik untuk bangun beribadah pagi. Di Katolik diistilahkan dengan tuguran (ibadat subuh) atau laudes (ibadat pagi).
Panggilan syahdu dari azan subuh, diikuti tak lama kemudian oleh irama lonceng yang ritmis. Perpaduan dua irama spiritualitas yang memukau. Kata orang yang tinggal di sekitar tempat itu, peristiwa itu telah berlangsung lama. Tak ada yang merasa terganggu. Tak pernah menimbulkan masalah, bahkan terasa sebagai perpaduan rohani yang menawan.Â