Dayak adalah berjalan dan berpindah. Demikian salah satu ciri khas atau tepatnya keistimewaan dari etnis ini. Jika membaca riwayat asal muasal munculnya  berbagai suku atau sub suku pada etnis Dayak, maka di sana dengan gamblang Anda akan menemukan, sebelum mereka bermukim di satu wilayah,  mereka selalu berpindah dari satu tempat ke daerah yang lain.Â
Lihatlah riwayat Dayak Bahau Bate, Dayak Kayan, Kenyah, Ngaju atau pun Klemetan, semua dimulai dari proses berjalan dan berpindah dari satu tempat ke wilayah yang lain. Seakan orang Dayak ini mengerti betul akan ungkapan; "Jauh berjalan banyak dilihat, sering berpindah banyak dirasa."
Gara-gara kebiasaan berladang yang berpindah-pindah itu, pemerintah orde baru menuding mereka sebagai perambah hutan dan perusak  lingkungan. Tuduhan yang serampangan tentu saja. Sebab bagaimana mungkin orang Dayak akan merusak lingkungan, sementara mereka bergantung dan terikat pada alam.
Mereka membuka huma pada satu tempat, lalu bergeser ke tempat yang lain, bukan tanpa maksud apa-apa. Orang Dayak tidak ingin menguras kesuburan tanah pada satu tempat. Karena itulah tanah yang sudah pernah diolah akan dibiarkan beberapa saat untuk menjadi tanah yang subur. Untuk kepentingan itu mereka dengan senang hati akan meninggalkan tempat ini dan bergeser mencari ladang baru.
Tindakan itu tentu dimaksudkan agar alam dan lingkungan menemukan keseimbangannya kembali. Semua ekosistem kembali membentuk rantai kehidupan yang utuh. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya keinginan mengeruk dan mengeksploetasi alam untuk kepentingan memperkaya diri-sendiri. Â
Dayak memang berpindah-pindah tempat, tapi tak pernah merusak hutan dan lingkungan yang didatanginya.Â
 "Ibarat kehidupan monyet yang loncat sana dan loncat sini, kehidupan masyarakat Dayak pun demikian adanya. Tapi seperti monyet yang tahu betul batas wilayah yang boleh dirambah, komunitas adat pun amat paham batas wilayah yang boleh digarapnya." Demikian pitutur bijak Awang Idjau, seorang tokoh suku Benuaq Dayak menggambarkan kehidupan komunitasnya (Bisri Effendy, 2005).
Tidak seperti sebelumnya, dimana berjalan dan berpindah adalah manasuka dan sukacita, maka di bawah bayang-bayang rezim orde baru perpindahan itu adalah kegetiran. Cerita muram menyertai perjalanan dan perpindahan mereka. Banyak dari kebiasaan orang Dayak saat itu atas nama pembangunan dan modernisme dipangkas lindang.
Ibarat kata "berjalan akan sampai pada ujungnya, berlayar akan sampai pada tepinya" demikianlah akhirnya kisah orang-orang Dayak ini. Kebijakan rezim orde baru memaksa mereka sampai pada ujung dari perjalanannya. Mungkin juga zaman telah memaksa mereka berhenti dari berjalan dan berpindah dan akhirnya mereka pun membentuk pemukiman di beberapa tempat-tempat tertentu. Â Babak baru dimulai dalam hidup yang orang sebut sebagai kemodernan.