Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Women's Mosque Movement

18 Desember 2018   10:08 Diperbarui: 18 Desember 2018   10:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak seperti lazimnya yang ingin berlama-lama jika ke mall,  sore itu istri saya justru mengajak cepat-cepat pulang.  Tentu saja, walau sedikit heran, tetapi ajakan pulang cepat itu saya sambut dengan semringah. Saya sendiri bukan tipikal orang yang suka berlama-lama di mall, apalagi kalau hanya untuk belanja.  

Sepanjang perjalanan pulang, ia terlihat mengkhawatirkan cuaca yang memang sedikit kelam di sore itu. Awan hitam menggantung di angkasa dan sepertinya tidak menunggu waktu lama akan runtuh ke bumi. Begitu tiba di rumah, azan magrib baru saja selesai mengalun, bersamaan dengan itu hujan jatuh ke bumi. Bukan hujan berinai-rinai, tetapi tercurah bagai air tumpah dari langit.

Paras istriku terlihat sengkarut. 

"Kenapa?" tanyaku. 

"Malam ini saya harus ke mesjid, ada pengajian, baca Alqur'an bersama-sama, tapi hujan turun begitu deras."  Ucapnya murung.

Saya tercenung. "Itu rupanya yang membuat istri saya tak ingin berlama-lama di mall." Ucapku. Tentu kalimat itu hanya melingkar-lingkar dalam benakku.

Beberapa hari terakhir ini istri saya memang ikut mengaji bersama ibu-ibu di Mesjid Kompleks. Mereka bersama belajar membaca kitab suci tersebut. Ibu-ibu itu, demikian keterangan istri saya, bermacam-macam tingkat kepandaiannya membaca Quran, ada yang baru mengeja, ada yang sudah lancar bahkan ada yang baru pertama kali belajar Alquran. 

Tiap orang dalam seminggu belajar dua kali. Tetapi kegiatan itu sendiri ada kelas pagi, sore dan malam. Biasanya di penghujung pekan mereka berkumpul melakukan pengajian, kali ini bukan belajar membaca Alquran, tapi kajian masalah agama. Organisator, guru mengaji dan yang memberi kajian adalah juga kaum perempuan. Mereka adalah para aktivis perempuan Wahdah Islamiyah.  Tak menetapkan tarif, ibu-ibu hanya memberikan sumbangan seikhlasnya.

Uniknya pengajian itu eksklusif. Hanya perempuan yang boleh terlibat. Para aktivis itu sangat ketat memisahkan ruang publik laki laki dan perempuan. Idiom, kehormatan,kesopanan dan ajaran agama kokoh menjadi jangkarnya.

The Women's Mosque Movement (Gerakan Perempuan Mesjid) begitu Saba Mahmud (2011) memberikan istilah pada gerakan perempuan muslim semacam ini.  Dalam penelitian etnografinya pada perempuan Mesir seputar-1995-1997,  Saba menemukan model gerakan perempuan muslim semacam ini sebagai bagian dari gerakan Islamic Awakening (al-Sahwa al-Islamiyya) atau kebangkitan Islam.  

Menariknya, gerakan perempuan Islam ini tidak menolak gerakan Islamisme yang oleh sementara akademisi dianggap sebagai bentuk keagamaan ortodoks yang berpotensi menindas perempuan.  Sebaliknya perempuan-perempuan tersebut malah menjadi bagian di dalamnya, tetapi sekaligus membangun model pemberdayaan perempuan yang berbeda dari kaum feminisme liberal-progresif. 

Perempuan-perempuan tersebut ikut berkiprah di ruang publik; belajar mengaji, masuk dalam club sastra, melakukan kajian Islam, tetapi tetap dalam ruang-ruang yang diasumsikan 'Ortodoksi Islam' oleh sementara kalangan. Mereka melakukan secara eksklusif, hanya bersama dengan perempuan saja. Ini mengikuti pandangan umum kaum Islamisme bahwa ruang antara perempuan dan laki-laki tidak boleh sama.

Di dalam pembedaan, yang diasumsikan diskriminatif oleh feminisme liberal, perempuan-perempuan muslim ini justru membangun model pemberdayaan sendiri. Gerakan ini sekaligus menantang konsepsi-konsepsi feminisme liberal yang marak di dunia saat ini. 

Hal-hal yang dianggap sebagai subordinasi perempuan atas otoritas laki-laki seperti rasa malu, kerendahhatian, tidak bisa berbaur dengan lelaki atas nama kesopanan, justru digunakan dalam gerakan-gerakan pemberdayaan kaum perempuan muslim ini.  

Dengan menggunakan idiom-idiom yang dianggap ortodoks itu, nyatanya aktivis perempuan muslim di Mesir mampu memberdayakan sesama perempuan. Bahkan gerakan mereka sampai menyentuh soal pemberdayaan ekonomi keluarga. 

Konon, menurut istri saya, pengajian perempuan di kompleks kami, juga membicarakan hal itu, walau kini masih terfokus pada belajar membaca Alqurannya.   Ternyata idiom-idiom yang diasumsikan menindas, justru dibutuhkan dalam gerakan pemberdayaan ini. Kata Saba Mahmud (2011):  "In other words, women's subordination to feminine virtues, such as shyness, modesty, and humility, appears to be the necessary condition for their enhanced public role in religious and political life"

Mungkin letak persoalan dari feminisme liberal adalah salah mengenali bentuk-bentuk perlawanan (pemberdayaan) perempuan, khususnya perempuan dunia ketiga, lebih khusus lagi perempuan muslim.  Jauh sebelum Saba Mahmud,  Leela Abu-Lughod (1990) sudah mengajukan satu pertanyaan provokatif: "bagaimana kita bisa mengenali contoh-contoh perlawanan perempuan dengan "salah menafsirkan bentuk-bentuk kesadaran atau politik yang bukan bagian dari pengalaman mereka?"  Dan demikianlah, apa yang ditunjukkan oleh perempuan Mesir dan perempuan-perempuan di kompleks saya menunjukkan adanya bentuk kesadaran pemberdayaan yang berbeda itu.

Sayangnya yang saya amati hanya terbatas di seputar kompleks di mana saya tinggal. Maka yang menonjol di sini hanya gerakan dari para perempuan aktivis Wahdah Islamiyah tersebut. Di luar sana, di lingkungan yang berbeda, saya yakin Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah juga tengah berjibaku dengan model pemberdayaan lainnya. Apakah gerakan pemberdayaan mereka juga menantang feminisme liberal ? Entahlah...

Sementara itu hujan yang tadinya bagai ditumpahkan dari langit, mulai reda. Kini yang tersisa tinggal hujan yang berinai-rinai. Tetesannya yang mulai jarang itu, lembut menyentuh atap rumah. Seiring azan Isya yang mulai mengalun lembut di angkasa, istri saya pun bergerak meraih payung. Parasnya yang tadi sengkarut kini mulai semringah, malam itu ia tetap bisa menghadiri pengajian di mesjid kompleks.  

         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun