"Tidak bu ustazah..., biarlah Ia mengenalku sebagai perempuan yang dia kenal dulu. Lagi pula apa bedanya diriku yang sekarang dengan yang dulu? Aku memang berusaha berjalan menuju cahaya Tuhan, tapi toh aku masih tetap terjerembap lagi... dan lagi ke jurang durjana. Saya tidak berani menjamin bahwa hidupku saat ini lebih suci dari waktu aku pertama kenal dengan Rio." Terdengar Lastri menjawab. Suara  seraknya kini diiringi isak pelan. Rio yang mendengarnya dari luar merasakan hatinya seperti diremas-remas.
"Tapi kau sudah berusaha anakku. Jalan menuju kebenaran memanglah tidak mulus. Terjal dan rumpil. Tapi percayalah usahamu telah dicatat oleh Tuhan.Â
Lalu Rio kembali mendengar Lastri berkata.
"Aku hanya punya satu impian. Impian terbesarku saat ini. Semoga kelak di suatu hari, Rio berdiri di depanku, mengenakan kopiah dan sarung yang sudah lama saya siapkan. Menjadi imam dalam salatku." Â
Rio tegak terdiam dicengkam berbagai rasa. Tubuhnya semakin bergetar. Ucapan-ucapan Lastri membuat hatinya yang sudah sekian lama mengeras seakan meleleh, kepingan demi kepingan. Rio menatap ke arah langit. Ia merasakan matanya menjadi hangat. Rio mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "Ah kenapa aku jadi cengeng?"
Namun tanggul ketegarannya betul-betul runtuh, ketika ibu yang bersuara lembut dan serak itu melanjutkan pertanyaannya.
"Engkau pun belum memberitahu suamimu, bahwa saat ini kau sedang mengandung calon buah hati kalian berdua?"Â
Rio tak mendengarkan lagi jawaban Lastri istrinya. Hatinya betul-betul seperti diremas. Ia tak tahan berdiri berlama-lama di tempat itu. Air matanya betul-betul runtuh. Rio tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Namun justru karena tergesa-gesa itulah, kakinya menyambar pot bunga di dekatnya. Jatuh, pecah berserakan. Suaranya mengagetkan tiga perempuan yang sedang berbincang di ruang tamu. Lastri buru-buru melangkah keluar. Dilihatnya Rio melangkah cepat meninggalkan halaman itu.
"Rio...!" Teriak Lastri.
Tapi Rio tidak berpaling. Matanya sedang sembab dipenuhi air. Ia malu saat itu untuk menampakkan parasnya di hadapan Lastri.
"Sebentar Lastri...! Sebentar.... aku akan kembali kepadamu. Mendekapmu seerat-eratnya, tapi belum saat ini. Aku tidak siap saat ini, hatiku masih terlalu kerdil untuk berhadapan denganmu." Â Tapi kalimat itu hanya berdentam-dentam dalam hatinya.