And We Are Here as on a darkling plainÂ
Swept with confused alarms of struggle and flight,Â
Where ignorant armies clash by night.
Bukan  hanya sampai disitu, saat Sen ingin menguar soal kenapa  Kekerasan/Kebencian Bisa Merebak, lagi-lagi Ia mengutip sebait puisi  Ogden Nash dalam "A Plea for Less Melice Toward None":  "Any kiddie in school can love like a fool, but hating, my boy, is an art".  Sekali waktu  dia bercerita dengan gaya fiksi. Misalnya Ia mengutip cerita kala Ia melancong ke wilayah Karibia tahun 1961.
Penulis  hebat lainnya yang dengan santai memasukkan puisi, syair atau cerita  dalam tulisannya adalah Rudyard Kipling. Ia bahkan menulis sendiri  puisinya dalam "The Ballad of East and West", untuk menjelaskan soal pertarungan peradaban barat dan timur atau dalam bahasa Huntington sebagai Clash of Civilizations. Ia berpuisi begini  :
"Oh.... east is east, and west is westÂ
And never the twain shall meetÂ
Till earth and sky stand presently atÂ
God's great judgement seatÂ
But there is neither east nor west, border, nor breed, nor birth,Â
When two strong men stand face to face though they come from the ends of  earth"
Tulisan antropolog yang bertebaran, termasuk tentang Indonesia, juga selalu  bernuansa sastrawi. Tulisan Gertz tentang Sabung Ayam di Bali yang  dianggap sebagai salah satu karya etnografi yang bagus, bertutur renyah  dan lincah laiknya karya sastra fiksi. Kita hampir tidak bisa membedakan  lagi dalam alur tulisan tersebut yang mana fiksi dan mana yang ilmiah.
Sebagian  malah menganggap Gertz dalam tulisannya itu, sedang menulis biografi  tentang dirinya. Pengalaman dekat dia (emik) dalam bersentuhan dengan  masyarakat Bali. Untuk kita ketahui, biografi senyatanya adalah cabang  dari ilmu sastra dan untuk  sementara sastra sendiri dianggap kental  dengan fiksinya.
Begitu pun tulisan Anna Tsing soal masyarakat  Dayak, Ia dengan bagus menampilkan syair tentang anak muda yang  digambarkan sebagai serdadu. Begini syairnya :
Hai anak serdaduÂ
Kemana engkau Pergi?Â
Belikan Aku CerutuÂ
Namanya Dubian Baru
Jelaslah  bahwa menulis karya ilmiah secara sastrawi bukanlah persoalan. Sastrawi  dalam arti bukan sekedar tulisannya yang mendayu-dayu, tetapi  memasukkan unsur sastra, misalnya syair, puisi, dongeng dan cerita.
Yang  paling penting digaris bawahi dalam menulis karya ilmiah sastrawi  adalah untuk apa meletakkan unsur sastra dalam tulisan tersebut. Sejauh  mana pentingnya dan dalam rangka apa ? Sejauh hal itu tidak out of context apalagi jika mendukung tulisan, maka justru keberadaannya menjadi penting.