Pada sebuah acara seminar tentang Monografi Haji di penghujung 2017 silam, seorang kawan mengajukan pernyataan pada sesi tanya jawab; "Haji dan Umrah pada zaman now bukan lagi panggilan Tuhan, tapi panggilan Travel". Begitu kawan tersebut bilang. Sontak pernyataan itu membuat beberapa peserta seminar menegakkan leher, yang lain geleng-geleng kepala. "Sebuah permakluman gegabah dan terlalu menohok". Begitu kira-kira yang muncul dalam benak sebagian besar peserta seminar saat itu.
Namun jika kita timang-timang sejenak, dihayati dengan kepala dingin, parafrase tadi boleh jadi ada benarnya. Bukankah berbagai Agen atau Travel Haji dan Umrah saat ini seakan berlomba mengiklankan perjalanan spiritual ke Tanah Suci tersebut. Â Dalam catatan Hartini Tahir di Jurnal Al-Qalam berjudul "Haji dan Umrah Sebagai Gaya Hidup...(Hartini, 2016), Travel Haji dan Umrah tumbuh pesat bagai cendawan di musim hujan.Â
Data Kementerian Agama menyebutkan ada 72 Travel Haji dan Umrah baik yang terdaftar maupun tidak di Sulsel. Â Di kota Makassar sendiri, beragam Travel Haji mulai yang kantor pusatnya di Jakarta sampai yang pusatnya di Makassar berkembang dan berlomba mengiklan Travelnya masing-masing. Beberapa Travel Haji dan Umrah yang bisa disebutkan di sini antara lain Abu Tour, First Travel (Kini telah dibekukan), Al-Buruj, Patuna dan Ujas Travel.Â
Travel-travel Haji dan Umrah tersebut, demikian Hartini, rutin menggelar pameran (paling sedikit tiga kali dalam setahun). Selain itu, sudah barang tentu iklan-iklan di radio dan televisi  hampir sabang waktu tayang dan mengudara. Iklan-iklan itu menggempur masyarakat Islam dalam setiap menit kehidupannya.
Melalui dan di dalam iklan tersebut kesadaran umat dibuai. Apalagi jika iklan tersebut menggabung dua kekuatan, yaitu keuntungan material dan kemanfaatan spiritual. Daya tariknya dahsyat bukan olah-olah lagi. Cara inilah yang dilakukan oleh beberapa Travel, seperti First Travel (yang sudah dibekukan) dan Abu Tour yang sekarang ini tengah mengalami banyak masalah.Â
Kedua Travel itu selain mengiklankan spiritualitas berhaji dan umrah, juga soal-soal material duniawi, misalnya bisa berhaji atau umrah sambil melancong ke beberapa Negara lain misalnya Uni Emirat Arab. Puncaknya iming-iming itu berupa tawaran kemurahan ongkos. Siapa yang tak tergiur bisa Umrah dengan ongkos hanya 15 juta misalnya? Umat pun akhirnya terperangkap dalam ilusi spiritualitas dan material secara bersamaan. Â
Pada prinsipnya model industri Travel Haji dan Umrah dengan iming-iming harga murah ini hampir sama dengan sistem pasar gelap alat-alat elektronik semacam HP atau TV. Saat ini, kita bisa mendapatkan HP dan TV bermerek dengan harga murah tapi melalui pasar gelap. Misalnya kita membeli melalui jalur pemasaran di Batam. Mereknya bonafid tapi harganya lebih murah.Â
Konsumer tentu akan tergiur dengan iming-iming pasar semacam ini, bisa mendapatkan Samsung dengan harga rendah siapa yang tidak senang. Gaya dapat, merek dapat dan duit (meski sedikit) pun cukup. Sampai akhirnya,  beberapa waktu kemudian para Konsumer itu sadar, bahwa ternyata HP yang dibelinya cepat rusak.  Baterainya rupanya cepat kalah  atau layarnya hanya setahun tiba-tiba jadi gelap.Â
Demikian halnya Travel Haji/Umrah dengan biaya murah. Awalnya menyenangkan, namun pada akhirnya umat baru sadar, bahwa ternyata Travel ini berujung pada persoalan yang akut.
Hal inilah yang dimanfaatkan betul oleh para pelaku industri Haji dan Umrah. Tentu saja tidak penting lagi bagi kalangan pelaku Industri ini melihat sejauh mana dampak maraknya orang berhaji dan berumrah dalam menciptakan masyarakat religius dan saleh di Indonesia. Yang penting bagi para pelaku industri ini, adalah sejauh mana iklannya bisa menjerat umat dan dengan sendirinya bisa mendapatkan keuntungan yang besar pula.
Tentu di antara para pelaku Industri Travel dan Umrah ini pastilah ada yang punya niatan baik dan ikhlas. Bahkan saya kira ini yang dominan. Â Tapi niat saja tidak cukup, Â kemampuan keluar dari hasrat mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui industri ibadah haji dan umrah ini harus pula ada pada diri mereka.Â
Pada sisi yang lain, umat Islam, terutama saya tentunya (semoga Allah berkenan memberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di Tanah SuciNya), Â mulai harus menata baik-baik niat untuk melaksanakan Haji dan Umrah tersebut. Betulkah kerinduan untuk berasyik masyuk dengan Allah adalah tujuan kita atau justru kepentingan gaya hidup dalam masyarakat kita yang memang mementingkan hidup yang penuh gaya?Â
Saya percaya masih banyak yang berhaji dan umrah dengan niat yang sungguh-sungguh ikhlas karena Allah Semata. Bagi yang terakhir ini,  percayalah! Haji dan Umrah jika bukan were (takdir) dan pammase (Rahmat) dari Allah SWT, mustahil akan terpenuhi. Semenarik apa pun iklan, secanggih apa pun sistemnya, tak akan juga kita bisa melaksanakannya,  bila Allah belum berkenan. Travel dengan segala iklannya hanyalah sarana, pada akhirnya Allah jualah Sang Penentunya. Bukankah Kasus First Travel dan Abu  Tour telah memberikan pelajaran bagi kita semua?       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H