Di Televisi, bolak balik diberitakan tentang gerhana bulan yang akan jatuh pada tanggal 31 Januari 2018. Gerhana Bulan yang diberi nama rumit dan keren Super Blue Blood Moon, kita sebut saja Bulan Super Darah Biru. Namanya bisa menjadi unik untuk kita orang-orang Indonesia, karena bulan saat itu, tidak hanya super tapi berdarah biru pula.
Tentu tidak sulit saat ini memahami peristiwa gerhana, semacam gerhana bulan yang berjuluk Bulan Super Darah Biru itu. Â Dengan mudah kita mendapatkan penjelasan, baik dari google maupun dari televisi dengan para ahli yang berkomentar atau pembawa berita yang juga tiba-tiba jadi ahli.Â
Anda pun  bisa tahu dengan cukup melihat dari jagat media sosial di gawai masing-masing. Peristiwa gerhana bulan dengan berbagai penjelasan akan di share oleh para pengguna medsos. Bahkan di antara mereka ada yang bisa menjelaskannya panjang lebar pula, mirip ahli geologi dan geo...apa begitu....
Dengan berbagai penjelasan dan pengetahuan modern yang berseliweran tentang gerhana bulan, kita pun menjadi melek.  Kita lantas  paham bahwa gerhana bulan peristiwa alam biasa, meski untuk berulangnya bisa menunggu ratusan tahun.  Begitu katanya,  kalau gerhana bulan, tepat pada saat bulan super dan bulan biru pula (Apa itu bulan super dan bulan biru, cari sendirilah he..he..).Â
Pengetahuan dan modernitas telah membuat kita mafhum dan membantu  kita banyak tahu akan satu peristiwa alam. Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba saja kita merasakan adanya yang hilang di tengah kita. Pesona mistis.  Daya pukau satu peristiwa alam tiba-tiba saja terasa raib. Gerhana bulan itu pun, meski dengan gelar mentereng, akhirnya jatuhnya jadi  peristiwa terlalu biasa. Kecuali sibuk foto foto, atau nonton berita tentang gerhana itu di tv, bagi yang suka,  kebanyakan orang paling banter hanya melongok sejenak ke langit lalu asyik dengan aktivitas lainnya lagi.
Yang muncul adalah cerita mistis. Tentang bulan yang dimangsa oleh sang naga. Maka jika gerhana bulan telah muncul mengapung di angkasa, serentak ibu-ibu dan orang tua memulai ritual  mappadekko, yaitu memukul-mukul bambu dengan irama titiran tertentu. Maksudnya mengagetkan Sang Naga yang sedang mencaplok bulan, agar dia memuntahkan kembali bulan dari mulutnya.
Cerita yang mengiringi gerhana bulan tersebut, tentu saja mitos, tetapi sungguh telah menunjukkan bagaimana dekatnya antara alam dan manusia. Alam adalah bagian dari mereka dan karenanya jika alam mengalami fenomena tak biasa, maka manusia harus ikut prihatin.Â
Tapi selain itu, mitos demikian telah mendatangkan pesona mistis yang mencengkau kami. Kedatangan gerhana bulan menjadi sesuatu yang dinanti dengan debaran di dada. Takut tapi juga penasaran. Apakah yang akan terjadi jika gerhana betul-betul datang? Akankah manusia bisa menolong sang rembulan lepas dari mulut naga ? Jika tidak, maka kita selamanya berkelumun gelita.
Begitu malam runtuh ke bumi dan saat gerhana telah tiba, kami pun meringkuk cemas dalam rumah tapi dada sesak dengan rasa penasaran. Â Kaki pun ingin melangkah keluar. Di saat demikian itulah sang nenek biasanya datang dengan paras yang khusyuk sarat misteri.Â
"Jangan keluar, naga sedang mencaplok bulan". Katanya setengah berbisik. Â