Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerhana Bulan ini Terlalu Biasa

1 Februari 2018   18:29 Diperbarui: 18 Februari 2018   16:26 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Televisi, bolak balik diberitakan tentang gerhana bulan yang akan jatuh pada tanggal 31 Januari 2018. Gerhana Bulan yang diberi nama rumit dan keren Super Blue Blood Moon, kita sebut saja Bulan Super Darah Biru. Namanya bisa menjadi unik untuk kita orang-orang Indonesia, karena bulan saat itu, tidak hanya super tapi berdarah biru pula.

Tentu tidak sulit saat ini memahami peristiwa gerhana, semacam gerhana bulan yang berjuluk Bulan Super Darah Biru itu.  Dengan mudah kita mendapatkan penjelasan, baik dari google maupun dari televisi dengan para ahli yang berkomentar atau pembawa berita yang juga tiba-tiba jadi ahli. 

Anda pun  bisa tahu dengan cukup melihat dari jagat media sosial di gawai masing-masing. Peristiwa gerhana bulan dengan berbagai penjelasan akan di share oleh para pengguna medsos. Bahkan di antara mereka ada yang bisa menjelaskannya panjang lebar pula, mirip ahli geologi dan geo...apa begitu....

Dengan berbagai penjelasan dan pengetahuan modern yang berseliweran tentang gerhana bulan, kita pun menjadi melek.  Kita lantas  paham bahwa gerhana bulan peristiwa alam biasa, meski untuk berulangnya bisa menunggu ratusan tahun.   Begitu katanya,  kalau gerhana bulan, tepat pada saat bulan super dan bulan biru pula (Apa itu bulan super dan bulan biru, cari sendirilah he..he..). 

Pengetahuan dan modernitas telah membuat kita mafhum dan membantu  kita banyak tahu akan satu peristiwa alam. Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba saja kita merasakan adanya yang hilang di tengah kita. Pesona mistis.  Daya pukau satu peristiwa alam tiba-tiba saja terasa raib. Gerhana bulan itu pun, meski dengan gelar mentereng, akhirnya jatuhnya jadi  peristiwa terlalu biasa. Kecuali sibuk foto foto, atau nonton berita tentang gerhana itu di tv, bagi yang suka,  kebanyakan orang paling banter hanya melongok sejenak ke langit lalu asyik dengan aktivitas lainnya lagi.

sumber-brilio-net-5a894711dcad5b4040510252.jpg
sumber-brilio-net-5a894711dcad5b4040510252.jpg
Saya teringat dengan peristiwa-peristiwa alam semacam gerhana bulan atau gerhana matahari yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu di desa saya. Tentu tak ada penjelasan ilmiah mengenai apa itu gerhana bulan, misalnya. 

Yang muncul adalah cerita mistis. Tentang bulan yang dimangsa oleh sang naga. Maka jika gerhana bulan telah muncul mengapung di angkasa, serentak ibu-ibu dan orang tua memulai ritual  mappadekko, yaitu memukul-mukul bambu dengan irama titiran tertentu. Maksudnya mengagetkan Sang Naga yang sedang mencaplok bulan, agar dia memuntahkan kembali bulan dari mulutnya.

Cerita yang mengiringi gerhana bulan tersebut, tentu saja mitos, tetapi sungguh telah menunjukkan bagaimana dekatnya antara alam dan manusia. Alam adalah bagian dari mereka dan karenanya jika alam mengalami fenomena tak biasa, maka manusia harus ikut prihatin. 

Tapi selain itu, mitos demikian telah mendatangkan pesona mistis yang mencengkau kami. Kedatangan gerhana bulan menjadi sesuatu yang dinanti dengan debaran di dada. Takut tapi juga penasaran. Apakah yang akan terjadi jika gerhana betul-betul datang? Akankah manusia bisa menolong sang rembulan lepas dari mulut naga ? Jika tidak, maka kita selamanya berkelumun gelita.

Begitu malam runtuh ke bumi dan saat gerhana telah tiba, kami pun meringkuk cemas dalam rumah tapi dada sesak dengan rasa penasaran.  Kaki pun ingin melangkah keluar. Di saat demikian itulah sang nenek biasanya datang dengan paras yang khusyuk sarat misteri. 

"Jangan keluar, naga sedang mencaplok bulan". Katanya setengah berbisik.  

Kami pun akhirnya hanya bisa meringkuk,  berharap-harap cemas dalam dekapan pesona yang menakjubkan.  

Itu dulu dan terjadinya di desa. Saat ini kita  telah dikelilingi dengan teknologi dan informasi yang serba cepat. Kita pun menjadi serba tahu. Bahkan sok tahu.  Tapi dalam sesaknya pengetahuan kita itu, tiba-tiba saja kita merasa berada dalam dunia yang hampa. Ruang tanpa pesona.  

Kita dilingkupi pengetahuan tapi pengetahuan yang diisi dengan kehampaan.  Begitu kurang lebih Henry Lefebvre bilang (Tentu saja kalimat persisnya tidak begitu, he..he..maap Lefebvre, kata di atas murni kata saya, tapi terinspirasi darimu).  

Kenapa bisa demikian ?  Mungkin karena pengetahuan itu kita tidak resapi sedalam-dalamnya. Tidak kita patrikan dengan sepenuh-penuh rasa spiritualitas dalam batin. Itu yang membedakannya dengan pengetahuan orang desa, yang sekarang ini kita anggap sebagai mitos. Pengetahuan yang orang desa miliki, mungkin tidak bisa diverifikasi dan difalsifikasi, tapi ruhnya meresap sampai ke tulang sumsum.   

sumber-alamanak-com-5a8946d2dd0fa80cdd0fb913.jpg
sumber-alamanak-com-5a8946d2dd0fa80cdd0fb913.jpg
Seperti anda, saya pun tak mungkin menolak pengetahuan ilmiah, tidak mampu juga menghindar dari modernitas, sekaligus tak bisa  lari dari serbuan informasi.  Tapi mungkinkah pengetahuan, modernitas dan informasi itu sekaligus mendatangkan kedalaman makna, rasa spiritualitas  dan  pesona mistis yang menakjubkan ?

Entahlah, tapi agaknya semakin kesini, kita semakin menjauh dari itu.  Bukankah kini informasi malah telah melemparkan kita pada situasi post truth?  

Ah....sepertinya Gerhana Bulan yang akan datang, kembali hanya akan menjadi peristiwa yang biasa saja.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun