Kami pun akhirnya hanya bisa meringkuk, Â berharap-harap cemas dalam dekapan pesona yang menakjubkan. Â
Itu dulu dan terjadinya di desa. Saat ini kita  telah dikelilingi dengan teknologi dan informasi yang serba cepat. Kita pun menjadi serba tahu. Bahkan sok tahu.  Tapi dalam sesaknya pengetahuan kita itu, tiba-tiba saja kita merasa berada dalam dunia yang hampa. Ruang tanpa pesona. Â
Kita dilingkupi pengetahuan tapi pengetahuan yang diisi dengan kehampaan. Â Begitu kurang lebih Henry Lefebvre bilang (Tentu saja kalimat persisnya tidak begitu, he..he..maap Lefebvre, kata di atas murni kata saya, tapi terinspirasi darimu). Â
Kenapa bisa demikian ? Â Mungkin karena pengetahuan itu kita tidak resapi sedalam-dalamnya. Tidak kita patrikan dengan sepenuh-penuh rasa spiritualitas dalam batin. Itu yang membedakannya dengan pengetahuan orang desa, yang sekarang ini kita anggap sebagai mitos. Pengetahuan yang orang desa miliki, mungkin tidak bisa diverifikasi dan difalsifikasi, tapi ruhnya meresap sampai ke tulang sumsum. Â Â
Entahlah, tapi agaknya semakin kesini, kita semakin menjauh dari itu. Â Bukankah kini informasi malah telah melemparkan kita pada situasi post truth? Â
Ah....sepertinya Gerhana Bulan yang akan datang, kembali hanya akan menjadi peristiwa yang biasa saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H