Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mappano Salo", Ketika Sanro Merayu Murka Penghuni Air

4 Januari 2018   11:12 Diperbarui: 14 Oktober 2018   21:06 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi baru saja datang menyapa, namun kesibukan sudah terlihat dari sebuah rumah di Desa Taraweang Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Rumah panggung di tengah kampung itu adalah milik Wa' (Uwa) Darise, seorang penduduk yang sudah berusia senja. Ia tinggal sendiri di rumahnya tersebut dalam ujung usianya.

Di depan rumah itu berserakan beberapa potong bambu, sebagian sudah dipotong-potong, sebagian yang lainnya telah dibelah sedemikian rupa. Beberapa pria dewasa membuat sesuatu dari potongan dan belahan bambu tersebut. Potongan bambu itu disatukan sedemikian rupa sehingga membentuk kotak persegi empat yang disebut dengan balasuji. Nantinya di tempat inilah makanan akan dimasukkan.

Gerangan apakah kiranya, sehingga beberapa orang lelaki terlihat ripuh di depan rumah berdinding bambu itu ?Rupanya hiruk pikuk itu terkait dengan  persiapan untuk sebuah acara ritual yang lazim disebut didaerah ini dan juga beberapa daerah lainnya di Sul-sel dengan acara Mapano Salo. Dua kata itu secara harfiah bisa diartikan dengan menurunkan sesuatu di sungai. Masyarakat di tempat ini lazim pula menyebutnya Massorong  atau mappalao (pemberian ).  

Sepintas ritual ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai ritual penyembahan atau pemberian sesajen terhadap penguasa air yang lazim disebut dengan Karaeng Sinri Jala. Tuduhan ini tentu asumsi sepihak tanpa pernah bertanya pada sang empunya acara. Ada pula yang mengatakan bahwa persembahan ini dimaksudkan sebagai tanda kesyukuran atas terpenuhinya suatu hajat dan juga agar nantinya semakin bertambah berkah dan rezeki dari Yang Maha Kuasa.

Ritual semacam ini memang lazim pada masyarakat berbasis agriculture. Beberapa penelitian antropolog terkemuka sudah menyatakan hal itu, misalnya Hertz (1907) dan Van Gennep (1909).  Gertz dalam Agama Jawanya yang terkenal itu,  telah mengudarkan  pula hal ini secara gamblang. Di Jawa, tempat di mana Gertz melakukan penlitian, ritual semacam ini lazim disebut slametan.  Ritual ini mengitari kehidupan petani dalam siklus kehidupan (Cycle of life), dalam siklus pertanian (Cycle of Agriculture), perayaan keagamaan dan integrasi sosial (social integration) (Gertz, 2017).  Berbagai ritual ini merupakan sisa-sisa cara hidup komunal masyarakat petani di desa.

Antropolog hampir semua bersepakat bahwa ritual semacam ini lazim dilakukan oleh masyarakat desa-petani,  namun mereka berbeda dalam soal apa yang menjadi intensi dari para pelakunya.  Antropolog klasik, semacam E.B. Tylor memandang ini sebagai satu cara penyembahan terhadap adanya kekuatan dalam benda atau tempat tertentu. Ciri khas  orang-orang lokal atau orang primitif, mengekspresikan keyakinanya begitu Tylor menyebutnya.  Pandangan yang banyak dikritik karena dianggap merendahkan keyakinan masyarakat lokal sebagai keterbelakangan. Bahkan tak sedikit yang melihat cara pandang Tylor ini bias kolonialisme. Tapi entah kenapa, segelintir kaum beragama senang menggunakan teori antropolog kolonial ini. Mereka senang menjuluki para komunitas lokal dengan sebutan anemisme. 

Sementara para antropolog kekinian (bisa dibaca zaman now), diantaranya Nurit Bird David antropolog dari Universitas Haifa, menganggap ini bukanlah penyembahan. Masyarakat lokal, seperti yang dilakukan dalam mappano salo tadi, bukanlah datang untuk menyembah penghuni air, tapi datang untuk membangun hubungan. 

Bagi Nurit, masyarakat lokal menganggap bahwa potensi "person" atau "personalitas" bukan mutlak ada pada manusia tetapi ada di mana-mana, di batu, pohon, air, dan sebagainya. Karena itu menjalin hubungan penting dilakukan dengan segenap makhluk tersebut. Ini untuk menjaga keberlangsungan kosmos.  Nurit menyebut ini dengan  istilah relasional epistemology (Nurit, 1999).  Maka bisa dimengerti mengapa dalam mappano salo itu, para pengusung ritual ini menganggap dirinya sedang mengunjungi saudaranya yang bernama Karaeng Sinri Jala.

Kembali pada soal kesibukan yang terjadi di rumah panggung milik Uwa Darise. Jika di depan rumah lelaki yang terlihat sibuk, maka sebaliknya di atas rumah panggung itu, perempuanlah yang pegang peranan. Beberapa orang di antara mereka tampak membuat kue-kue khas Bugis seperti cucuru, yang lainnya tampak sibuk memasak beras ketan yang disebut dengan songkolo. Yang lainnya lagi tampak mempersiapkan buah-buahan, seperti pisang.

Di tengah-tengah mereka tampak seorang perempuan yang masih cukup muda memakai cipo-cipo (penutup kepala yang biasanya dikenakan perempuan yang sudah berhaji). Perempuan ini sekali-kali memberikan arahan-arahan kepada perempuan yang ada di tempat itu.  Sesekali pula tangannya menjamah barang-barang yang di dekatnya, memperbaiki letaknya atau menyempurnakan bentuknya. Di sekitarnya tampak juga peralatan yang biasa dipakai pada acara mabissu, seperti sepasang gendang, pabbaccing, dan pagamaru. Di sudut lain tampak Puang Matoa Saidi (pimpinan Bissu) memperhatikan prosesi persiapan acara tersebut.

Perempuan yang berusia masih muda dan berwajah cantik itu ternyata adalah seorang Sanro. Pada acara mapano salo kali ini Sanro yang ternyata punya predikat Hajja ini menjadi pemimpin acara. Sedangkan Puang matoa Saidi yang biasanya pada acara ritual menjadi pemimpin acara, kali ini  hanya menjadi "penonton".  Puang Saidi hanya sesekali membantu sanro yang bernama hajjah Hayati ini memberi arahan kepada para perempuan yang sedang mempersiapkan acara.

Pusat persiapan acara mapano Salo ini ternyata di atas rumah yang dipenuhi perempuan. Laki-laki yang ada di halaman rumah yang membikin perlengkapan acara, sekali-kali naik ke rumah bertanya kepada sanro, bagaimana seharusnya bentuk balasuji itu, juga mempertanyakan berapa jumlahnya yang harus dibikin. Dari atas rumahlah persiapan acara yang sesungguhnya dilakukan, di sanalah Sanro bersama perempuan-perempuan lainnya dengan cermat mempersiapkan acara yang dimaksud.

Lalu kenapa acara Mapano salo kali ini dipimpin oleh sanro perempuan dan bukan Puang Matoa Saidi? Menurut Saidi dalam acara ritual seperti ini tergantung isyarat dari Yang Gaib, kalau yang gaib menunjuk kepada Sanro selain Bissu maka itu harus yang diikuti. Dalam tradisi Bugis, sanro selain Bissu biasanya adalah perempuan. "Acara ini dilakukan karena pemilik rumah ini pernah sakit keras dan sanro Hayatilah yang memimpikan bahwa dia harus mapano salo untuk kesembuhannya. Ternyata setelah pemilik rumh itu berjanji akan melaksanakan itu, dia pun sembuh, ini menjadi isyarat bahwa Sanro Hayatilah yang harus memimpin acara ini". Jelas Puang Matoa. "Tapi patut diingat kita semua yakin bahwa yang menyembuhkan adalah Allah Yang Maha Kuasa, soal mappano salo, hanyalah jalan saja". Pungkas Puang Matoa Saidi.

Persiapan acara untuk mapano salo malam itu berakhir setelah sokko (nasi ketan) telah diberi warna oleh beberapa orang perempuan diawasi oleh sanro Hayati. Kini telah tersedia  sokko empat warna, yaitu putih, hitam, kuning dan merah. Empat warna itu melambangkan empat bagian dari manusia yaitu putih berarti tulang dan air awal kehidupan manusia, hitam melambangkan kulit dan tanah sebagai awal kejadian manusia, kuning melambangkan sumsum manusia dan merah melambangkan darah manusia.  

Sejak pagi hari hingga malam telah runtuh ke bumi, senyatanya  hanyalah acara mempersiapkan perlengkapan untuk upacara mapano salo, namun situasi magis telah mengelumuni rumah itu .  Acara persiapan itu ditutup dengan doa dari sanro Hayati.  Sambil membakar dupa,  Ia merapal mantra dan memanjatkan doa.  Perpaduan doa  Islam dan mantra  lokal sayup-sayup melambung ke langit:

Alahumma Salli alaa Muhammad

Iarekka mae pammasetta puang

Kuasatami napammasena puang Allah Taalah

Na mancaji iare gaukangnge."

(Allahuma Salli alaa Muhammad

Berikanlah rahmat-Mu

Karena kekuasaanmu Penghuni Ghaib dan Rahmat dari Allah

Sehingga acara ini bisa terlaksana)

Keesokan harinya ritual mapano salo pun dimulai, kini semua acara dipusatkan di atas rumah.  Menurut rencana setelah acara pengisian balasuji dengan makanan sesajian, rombongan akan berangkat menuju  sungai dekat Tonasa (pabrik semen Tonasa). Di sungai itulah nantinya sesajenan akan diturunkan.

Hari itu tampak sanro Hayati sibuk sekali, Ia berada di tengah-tengah rumah, dekat tiang tengah. Setelah dia merasa acara sudah bisa dimulai, sanro Hayati mulai memerintahkan gendang ditabuh dan bunyi-bunyian lainnya dimainkan.  Bunyi gendang yang berirama cepat (tete kanjara) berdentam-dentam. Bersamaan dengan itu bunyi-bunyi lainnya misalnya Pallae-lae (berbentuk dua bambu yang ujungnya dipilah-pilah, keduanya dipukulkan satu-sama lain), dan Pa Gamaru (gelas yang digosokkan disisi piring yang berisi air, suaranya terasa membuat ngilu gigi), juga mulai mengentak-entak.  Sanro Hayati pun mulai mengisi balasuji dengan berbagai sesajen yang ada di situ, mulai dari beras, songkolo empat warna, lauk berupa ikan, ayam, telur dan pisang.

Sanro Hayati mendadak tersentak , bersamaan dengan dari mulutnya keluar suara, entah nyanyian entah meracau. Semua orang yang ada disitu mendekat, mereka dengan hikmat mendengarkan nyanyian sanro Hayati yang berupa nasehat dan pesan-pesan. Mereka kini tidak memanggilnya lagi dengan puang aji Hayati tetapi "nenek".

Orang yang berdiri di sebelah saya dan tengah menyimak serius ucapan Sanro Hayati masih sempat berbisik; "Kini sanro Hayati telah kemasukan arwah leluhur. Dialah yang biasa dipanggil dengan sebutan "sang nenek".  

Arwah leluhur ini tampaknya kurang puas dengan persiapan Mapano Salo kali ini, ia menanyakan beberapa barang dan makanan yang tidak tersedia dalam sesajenan. Sambil menyanyi ia berucap:

Madeppungan manokko mae, kupuadakko gau to rioloe

Maittanuna itu mappugau tu riolo

Na de pa na pura genna na sitinajang.

(mari berkumpul semua, saya sampaikan perihal ritual nenek moyang kita

sebab sudah lama kalian melakukan acara seperti ini

namun tidak pernah benar dan lengkap)

Orang-orang yang hadir mendengarnya dengan sungguh-sungguh.  Beberapa perempuan tampak menangis memohon maaf atas keteledoran mereka. Puang Matoa Saidi juga tampak mendekat, ia pun mendengar dengan seksama pesan-pesan dari arwah leluhur itu. Sesekali Ia juga tampak minta maaf kepada "sang nenek".

Ketika sanro Hayati tersadar, rombongan pun bersiap untuk menuju sungai, mereka mengendarai mobil, truk dan mobil mikrolet.  Cukup banyak orang yang ikut menuju ke sungai.  Sebelum ke sungai mereka singgah dulu di sebuah rumah , di sana mereka memberikan beberapa makanan. Setelah itu perjalanan kembali dilanjutkan ke sungai. 

Sanro Hayati memimpin perjalanan itu. Sampai di sungai sanro Hayati memanjatkan doa-doa kepada Allah,  Penguasa para penghuni air. Setelahnya diturunkanlah beberapa butir telur ke sungai, satu sisir pisang dan seterusnya makanan lainnya. 

"Sebenarnya makanan itu untuk makhluk hidup lainnya yang hidup di sungai, jadi semacam berbagi rezki." Begitu penjelasan sanro Hayati pada kesempatan lain ketika saya tanyakan soal makanan yang dilarung ke sungai itu.  

Bunyi Gendang mengiring prosesi ini. Setelah selesai orang-orang kemudian berebut membasuh mukanya dengan air sungai bahkan ada beberapa di antara mereka yang mengambil air sungai dengan memasukkannya ke dalam botol-botol minuman mineral. Setelah acara di sungai selesai, maka selesailah sudah acara Mapano salo tersebut, rombongan pun kembali menuju ke desa Taraweang

Ilustrasi : Gambar diambil dari bugiswarta.com
Ilustrasi : Gambar diambil dari bugiswarta.com

                                                                                              

Aji (Hajjah) Hayati; "Sanro sebagai Anugerah"

Aji Hayati yang menjadi sanro pada acara mapano salo kali ini, tidak pernah membayangkan bahkan terbetik dipikirannya untuk menjadi Sanro. Pada masa mudanya memang dia banyak mengikuti acara ritual dari tradisi nenek moyang, namun biasanya dia hanya membantu memasak atau menyiapkan makanan pada acara tersebut.

Suatu ketika dia menikah dengan seorang pria yang dicintainya tanpa restu dari orang tuanya. Kehidupannya pada masa ini betul-betul suram, nyaris terlunta-lunta. Dia dibuang dari keluarganya.  Inilah awal Hayati mendapatkan anugerah itu. Pada malam-malam tertentu dia sering bermimpi didatangi oleh seorang tua dan mengajarkan berbagai hal tentang acara-acara ritual. 

Kelak setelah dia melahirkan seorang anak kembar, yang kembarannya bukan berbentuk manusia tetapi berbentuk makhluk lain (bentuknya tidak ingin disebutkan seperti binatang), di sinilah kekuatan spiritualnya semakin tajam. Sanro Hayati sering mengalami trans, ia kemasukan roh nenek moyang. Ia pun dengan serta-merta mampu memahami tata-cara ritual dari tradisi leluhur di Bugis. Sejak saat itu Ia pun menjadi sanro dengan gelaran "nenek".

Menurut Sanro Hayati, orang-orang yang pernah mengalami kesulitan hidup seperti dirinya, biasanya memang akan mendapatkan anugerah menjadi Sanro. Namun dalam tradisi Bugis kemungkinan menjadi sanro itu adalah bagi kalangan perempuan dan calabai tungke'na lino. Perempuan dalam tradisi Bugis memang mendapatkan posisi yang terhormat, mereka dianggap mempunyai kemampuan spiritual yang tinggi. Mereka juga dianggap sebagai kalangan yang bisa menjadi penyambung spiritualitas seseorang. Selain kalangan ini, kalangan calabai juga mendapatkan posisi yang terhormat seperti perempuan.

Setelah sanro Hayati menunaikan haji, aktivitasnya sebagai sanro tidak ditinggalkannya. Menurutnya antara sanro dengan haji bukanlah hal yang bertentangan dan harus dipertentangkan, kedua-duanya mengarahkan orang untuk mengenal dunia spiritual lebih mendalam. Bahkan menurut sanro Hayati, aktivitasnya sebagai sanro banyak membantunya pada saat ia melaksanakan haji . Dia banyak diberi petunjuk gaib oleh  Allah melalui perantara nenek moyangnya pada saat melaksanakan ritual tertentu, sehingga ia bisa lebih mudah dan lebih cepat ketika akan melakukan sesuatu. Saat Ia misalnya ingin mencium Hajaratul Aswad, aji Hayati bisa melakukannya dengan mudah.

Tentu saja tidak sedikit dari kalangan agamawan yang mencerca keberadaannya, seorang haji yang juga berprofesi sebagai sanro. "Bahkan ada kalangan agamawan yang menganggap haji saya tidak absah". Kata sanro Hayati.  "Tapi hal itu tak perlu ia tanggapi, "Toh mereka hanya tidak memahami anugerah Tuhan yang diberikan kepada saya." Tandasnya lebih lanjut dengan sekelumit senyum manisnya. 

Ilustrasi : Gambar diambil dari travel.kompas.com
Ilustrasi : Gambar diambil dari travel.kompas.com

Sanro: Medan Kontestasi

Sanro memang menjadi hal yang unik sekaligus penting di masyarakat Sul-sel. Hampir di sekujur daerah Sul-sel mengenal keberadaannya. Rata-rata di antara para sanro itu memang perempuan. Sanro acap kali menjadi area atau medan yang sering menjadi sarana negosiasi dengan Islam sekaligus dengan kaum laki-laki. (Mengenai dua hal ini, sudah pernah diulas dalam tulisan lain).

Bukan hanya itu, saat ini Sanro juga menjadi medan kontestasi memperebutkan pengaruh, prestise, dan aset ekonomi di tengah masyarakat.  "Saat ini bayak sekali bermunculan sanro, tentu saja tujuannya sebagai sarana mencari uang".  Jelas puang Toa Saidi. Penjelasan Saidi ini mungkin ada benarnya sebab saat ini sanro memang menjadi sarana yang diperebutkan. Mereka berlomba untuk diklaim sebagai sanro yang paling absah, dan untuk itu media yang bisa melegitimasi itu adalah proses kerasukan (trans).

Terkadang, proses trans ini menjadi satu permainan, ia dibuat untuk menunjukkan sejauh mana kualitas kesanroaan seseorang. Prosesi persiapan acara juga menjadi sarana untuk memperlihatkan siapa yang sanro sesungguhnya. Maka jangan heran bila dalam satu pelaksanaan acara akan hadir juga sanro lain, yang tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya melihat dan biasanya akan memberikan penilaian yang buruk terhadap pelaksanaan acara.  Seperti kata salah seorang Bissu, "Kalau sanro-nya perempuan acaranya tidak akan lengkap seperti ini, andai sanro-nya Bissu pastilah acaranya dan persiapannya lebih baik."

Namun ini belum apa-apa, sejauh itu masing-masing dilakukan oleh kalangan mereka sendiri, meskipun makna kesanroan itu sendiri mulai bergeser menjadi profesi untuk mencari aset ekonomi. Yang celaka bila kesanroan itu ditentukan oleh satu lembaga adat tertentu, lembaga adat inilah yang berhak memberikan "sertifikat" sanro terhadap seseorang. Lembaga adat itu celakanya pula adalah bentukan pemerintah. Kini justru gejala itu mulai terjadi di beberapa daerah di Sul-sel, misalnya di Pangkep dan lainnya.  

Demikianlah lika-liku kehidupan sanro ini, dulu dihujat, kini dipuja,  yang lalu dibenci kini dicari.  Namun tak ada yang tahu pasti bagaimana nasibnya di masa yang akan datang.

(Penulis melihat peristiwa ini saat Puang Matoa Saidi pimpinan Bissu di Pangkep masih hidup) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun