Mereka inilah yang menurut para calabai tungkena lino itu yang mengumbar praktik sexualitas yang tidak beradab. Yang mencari mangsa di Karebosi (lapangan di Makassar) dan ditempat-tempat lainnya. Mengenakan pakaian kurang senonoh untuk dipandang. Serta berbagai praktik dan tingkah laku menyimpang dari kebudayaan masyarakat.
Dengan membentangkan kategori-ketegori calabai itu, Bissu tidak menutupi adanya calabai yang berprilaku buruk. Bahkan seakan seirama dengan bahasa agama; para Bissu dan Calabai Sejati seakan berkata; Mereka itulah (paccalabai dan calabai kedo-kedonami) para muhannis (menyerupai perempuan padahal lelaki), yang sesungguhnya terlarang  dalam bahasa agama. Adapun kami , bagaimana mungkin agama mencelanya, toh....kami tak pernah ingin seperti ini dan sejak terlahir kami seperti inilah adanya.
Saya tak mau terlalu jauh masuk dalam soal fiqih, bahwa agama memang mengakui adanya khuntsa, manusia berkelamin ganda dan apakah kemudian calabai sejati atau tungkena lino itu ada dikategori ini. Yang ingin saya katakan, dan menurutku inilah point pentingnya, adalah, bagaimana para Bissu dan calabai sejati itu masuk dalam diskursus agama dengan tarian yang begitu luwes.Â
Di dalam dan melalui wacana agama yang katakanlah "menyisihkan" mereka , justru para Bissu berupaya menemukan dan diakui sebagai manusia yang juga punya hak. Apa yang beberapa kali saya saksikan, menunjukkan keberhasilan dari strategi itu. Mereka diterima berdialog di pesantren. Ulama-ulama yang ditemui dan berdiskusi, tak pernah ada  yang menistakan atau membrondong mereka dengan dalil-dalil pelaknatan. Seorang ulama terkenal di Sulsel bahkan menyatakan; jika ada yang mengganggu mereka termasuk acara-acara ritualnya itu maka jaminannya adalah sang Ulama tersebut.   Â
Dengan siasat semacam ini, Bissu dan para Calabai Sejati itu menemukan kembali panggung kehidupannya. Mereka tidak dipandang lagi sebelah mata. Tidak dianggap sebagai penyakit yang harus dihindari apalagi dianggap sebagai sumber dari pelaknatan. Perlahan mereka malah menjadi primadona. Mereka diundang dalam berbagai acara, mentas di dalam dan di luar negeri.Â
Atas keberhasilan perjuangan para Bissu dan Calabai Sejati yang gemilang itu, semua waria di Pangkep, Bone, Soppeng dan bahkan tempat-tempat lainnya di Sulsel kena imbas positifnya. Para waria itu tidak lagi dipandang hina. Masyarakat kembali menerima. Mereka dipercaya dalam berbagai hajatan, baik yang tradisional maupun modern. Posisinya sebagai indo botting (perias pengantin) semakin mendapatkan tempat. Â
Hari-hari terakhir ini, ketika issu LGBT mencuat kepermukaan, Saya sempat terkaget-kaget ketika mendengar bahwa kini LGBT dalam kampanyenya sudah mempropogandakan homosexualitas sekaligus melakukan penetrasi terhadap kebudayaan heterosexual. Â
Bagi saya, jika itu benar terjadi, maka perjuangan LGBT tidak hanya semakin terbentur karang yang kokoh, tapi juga musuh bisa semakin bertambah. Cara itu saya yakin keliru dan tidak efektif. Untungnya dalam beberapa kali diskusi dengan kawan LGBT saya dengarkan bahwa mereka tidak melakukan gerakan seperti itu. Sampai di sini saya jadi teringat dengan kissah perjuangan Bissu, seperti yang telah di dedahkan sebelumnya; Jangan-jangan sekarang juga bermunculan LGBT kedo-kedonami, ikut-ikutan atau nyaru jadi LGBT karena kepentingan kekuasaan, uang, proyek dan program.Â
Jika itu yang terjadi, tidak heran jika saat ini ada yang mengatas namakan LGBT tapi perjuangannya tidak hanya mencederai nilai luhur kebudayaan di masyarakat tapi juga perjuangan LGBT yang Sejati (tungkena lino). Â Jika ada kasus seperti ini teman-teman LGBT harus bisa mencegahnya. Â
Tanpa mengurangi respek saya terhadap apa yang telah dilakukan dan diperjuangkan LGBT selama ini, cerita tentang bagaimana Bissu menyintas mungkin bisa dijadikan inspirasi. Jelas  medan yang dihadapi saat ini oleh kaum LGBT tidak persis sama dengan para Bissu dan calabai pada masa-masa cerita di atas berlangsung.  Â