Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siasat di Tengah Tarian Para Bissu (Catatan Untuk LGBT di Indonesia)

21 Desember 2017   09:41 Diperbarui: 21 Desember 2017   10:02 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Gambar : Penulis (Tiga dari kiri) bersama seorang Bissu dalam Pertemuan Komunitas Lokal Nusantara (Foto dari koleksi pribadi Ijhal Thamaona)

Adapun prihal penyingkiran terhadap mereka karena karakter dan tingkah laku mereka yang keperempuanan serta orientasi sexualitasnya yang homo, disikapi Bissu dengan bijak. Tak sekalipun, demi untuk memperjuangkan sisi gender dan orientasi sexualitasnya yang berbeda, membuat mereka tampil propogandais apalagi melakukan penetrasi terhadap budaya heterosexual.

Para Bissu yang memiliki Tu Boto (seorang pendamping pria) tak pernah meminta kepada masyarakat agar mereka disahkan sebagai pasangan. Di dalam masyarakat, para Bissu lebih banyak menampilkan To Botoini sebagai pembantu Bissu untuk mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya dikerjakan laki-laki dibanding sebagai pasangan. Meski demikian, sebenarnya juga masyarakat sadar sepenuhnya, bahwa To Botobukan sekadar pembantu, namun punya fungsi lain sebagai pasangan. Tapi masyarakat senyap dan mendiamkan itu.

Uniknya, entah demikianlah aturannya dari dulu, entah masa-masa itu (tahun 70-80-an) baru mereka munculkan, To Boto yang menjadi pasangan, akan dikawinkan dengan perempuan setelah mendampingi Bissu dalam jangka waktu tertentu.  

Segala biaya pernikahan akan ditanggung oleh para Bissu ini.  Saya menyaksikan sendiri seorang To Boto yang selama ini mendampingi Puang Matowa Saidi telah dikawinkan dengan seorang gadis pilihannya. To boto tersebut hidup bahagia dengan seorang perempuan dan dua orang anaknya. To Boto ini menceritakan, bahwa dia tidak mungkin bisa kawin jika tidak dibiayai sepenuhnya oleh Bissu Saidi.

Cerita tentang To Boto para Bissu ini, memperlihatkan , bagaimana para Bissu memenuhi dan dipenuhi haknya oleh masyarakat sebagai manusia yang berorientasi sexualitas berbeda. Di saat yang sama, menunjukkan pula, bahwa para Bissu ini bisa menghargai dan menempatkan diri dalam budaya masyarakat Bugis yang heterosexual tanpa harus kehilangan haknya sebagai manusia dengan orientasi sexualitas berbeda.

Ketika calabai ditempatkan dalam posisi sebagai pendosa, ingkar terhadap agama dan menyalahi kodrat, para Bissu tidak bersitegang urat leher dengan berupaya mengusung dalil-dalil agama yang bisa membenarkannya.

Tak pernah pula mereka meminta agamawan yang simpatik terhadap mereka agar memberi tafsir ulang terhadap kisah Nabi Luth dan menggelar hadist-hadist tandingan terhadap hadist yang menyudutkan mereka. Sepenuhnya mereka sadar, melawan dengan menggelar dalil-dalil normatif semacam itu, tidak akan menyelesaikan persoalan. Hanya debat panjang tak berkesudahan yang terjadi. Musuhpun bisa bertambah. 

Saat semacam itu,  mereka justru  membentangkan bagaimana calabai dalam sejarah dan tradisi Bugis.  Bahwa calabai dalam tradisi Bugis di bagi tiga; Ada calabaitungkena linoatau "sala dewi", mereka menjadi calabai karena kodrat dan iradat yang Maha Kuasa. 

Calabai kategori ini muncul tanpa dibuat-buat, pun tak ada kuasa untuk merubahnya. Orientasi sexualitas berbeda dangan yang hetero, namun mereka menjalani orientasi sex berbeda itu secara sehat. Tak umbar kecenderungan sexualitas mereka di mana-mana. Bissu adalah diantara calabai kategori ini. Kategori kedua; mereka sebut Paccalabai.  

Calabai pada kategori ini adalah mereka yang berpenampilan perempuan, namun memiliki hasrat terhadap lelaki dan juga perempuan. Ibarat pisau silet, dua sisinya sama tajamnya. Halilintar Latif menggambarkan hal ini sesuai istilah dikalangan remaja Sigeri, Pangkep; maju kena-mundur kena atau AC DC (Halilintar, 2004). Kategori ketiga adalah calabai kedo-kedonami yaitu laki-laki yang meniru-niru perempuan. Mereka bergaya calabai sekedar gaya, padahal hasrat sexualnya pada perempuan.

Bagi para Bissu dan Calabai Sejati tidak menampik bahwa dua kategori calabai yang disebut terakhir (paccalabai dan calabai kedo-kedonami)  tercela.  Mereka juga bahkan mengkritik keras calabai dengan model-model tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun