Menyingkir ke kampung lain yang dianggap aman. Para Bissu diburu, dikejar dan ditangkapi lantas dipaksa menjadi lelaki maskulin kembali. Beberapa di antaranya dipaksa bekerja di sawah  dengan maksud para calabai itu menjadi lelaki sejati nan maskulin.Â
Para Bissu sebagai penjaga tradisi dan pemimpin dalam berbagai ritual kuno dipaksa menghentikan segala kegiatannya. Berbagai Upacara ritual dilenyapkan, arajang (benda pusaka) dihancurkan dan pertunjukan mabissu beserta segenap musik yang mengiringinya  disenyapkan.     Â
Tahun 1966 mendung kembali bergayut di tengah komunitas Calabai dan Bissu. Pada titimangsa ini mereka kembali mendapatkan tekanan yang tidak kalah pahitnya dengan masa-masa DI/TII. Sejarah mendedahkan pada kita, masa itu adalah tahun dimana opereasi penumpasan PKI mencuat kepermukaan.Â
Di Sulsel yang dikenal khalayak diantaranya operasi Tumbu Tallua, Operasi Malilu Sipakainge dan Operasi Mappatobaatau operasi toba. Para Bissu dan calabai menjadi sasaran langsung dalam aksi yang disebut dengan Mappatoba. Dalam operasi toba ini aparat keamanan berkolaborasi dengan beberapa organisasi pemuda menyasar kalangan Bissu.
Dua peristiwa ini setidaknya bisa kita katakan sebagai proses genocide. Pembasmian pada para Bissu dan calabai dengan cara-cara kekerasan. Sejarah memang tidak mendedahkan data yang terang mengenai angka  pasti korban dari peristiwa itu, namun di sinyalir sangat banyak kelompok calabai dan Bissu yang hilang dan jadi objek pembantaian. Â
Para Bissu dan calabai, pada dua peristiwa tadi betul-betul berada pada titimangsa yang mencengkau. Mereka menjalani masa kelam-kelabu, tanpa gairah.  Beberapa yang selamat dari peristiwa ini adalah mereka yang menyingkir jauh atau diam-diam disembunyikan oleh masyarakat yang mendukung tradisi  mabissu.Yang selamat dari operasi itulah, demikian yang diwedarkan Halilintar Latief, budayawan Bugis,  yang kemudian dikenal dengan BissuPatapuloe (Bissu 40; sesuai dengan jumlahnya yang tersisa).
Setelah peristiwa itu, para Bissu dan calabai yang tersisa nyaris kehilangan gairah. Mereka berhenti menjalankan berbagai acara adat. Masyarakat pendukungpun tak berani menggelar ritual.Â
Mappalili (upacara turun ke sawah) tidak digelar. Namun beberapa masyarakat petani yang mendapatkan hasil panennya tidak memuaskan merasa bahwa hal itu terjadi karena mereka kehilangan gairah melakukan ritual adat, khususnya mappalili(Halilintar, 2009). Perlahan upacara mappalilipun di gelar, ritual adat kembali diusung, gendang kembali ditabuh dan Bissu serta calabai kembali mendapatkan panggungnya.
Karena kini panggung Bissu kembali digelar, maka tekanan dan penyingkiran terhadap merekapun muncul kembali. Kini penyingkiran itu muncul dalam wajah yang berbeda. Negara tak lagi menggunakan cara-cara kekerasan, tapi melalui pola-pola pembelahan. Â Modus ini meminjam Michel Foucault disebut sebagai dividing practic (praktik pembelahan).Â
Satu kelompok masyarakat dianggap normal, mengikuti sunnatullah dan sesuai dengan ajaran agama, sementara belahan yang lainnya dianggap sebagai masyarakat abnormal, tidak mengikuti kodrat ilahi dan menyalahi ajaran agama.Â